Politik Kesehatan Mental: Apakah Sudah Jadi Prioritas Negara?

Politik Kesehatan Mental: Apakah Sudah Jadi Prioritas Nasional Indonesia?

Kesehatan mental, sebuah aspek krusial dari kesejahteraan manusia, kini semakin mendapatkan sorotan di panggung global. Dari yang sebelumnya terpinggirkan dan diselimuti stigma, isu kesehatan mental perlahan naik menjadi agenda penting dalam diskusi publik, termasuk dalam ranah politik. Di Indonesia, pertanyaan besar yang mengemuka adalah: apakah politik kesehatan mental telah benar-benar menjadi prioritas nasional, ataukah masih sekadar retorika yang belum terwujud dalam tindakan nyata?

Mengapa Kesehatan Mental Penting dalam Ranah Politik?

Untuk memahami mengapa kesehatan mental harus menjadi prioritas politik, kita perlu melihat dampaknya yang multidimensional. Pertama, dari perspektif kemanusiaan, gangguan kesehatan mental menyebabkan penderitaan yang mendalam bagi individu dan keluarga mereka. Ini bukan hanya tentang depresi atau kecemasan, tetapi juga tentang gangguan yang lebih parah seperti skizofrenia atau gangguan bipolar, yang seringkali menyebabkan disabilitas signifikan dan isolasi sosial. Politik harus responsif terhadap penderitaan warganya.

Kedua, ada dimensi ekonomi yang tidak bisa diabaikan. Gangguan kesehatan mental berkontribusi pada penurunan produktivitas kerja, absensi, dan bahkan pengangguran. Laporan dari berbagai lembaga global, termasuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menunjukkan bahwa kerugian ekonomi akibat gangguan mental bisa mencapai triliunan dolar setiap tahunnya secara global. Investasi dalam kesehatan mental adalah investasi dalam modal manusia dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Ketika individu sehat secara mental, mereka lebih mampu berkontribusi pada masyarakat dan ekonomi.

Ketiga, kesehatan mental berkaitan erat dengan kesehatan fisik. Seringkali, individu dengan gangguan mental memiliki risiko lebih tinggi terhadap penyakit fisik kronis, dan sebaliknya. Misalnya, depresi dapat memperburuk kondisi jantung, sementara penyakit kronis dapat memicu gangguan kecemasan atau depresi. Pendekatan holistik dalam kesehatan memerlukan integrasi antara layanan kesehatan mental dan fisik.

Keempat, kesehatan mental memainkan peran dalam stabilitas sosial. Isu-isu seperti kekerasan dalam rumah tangga, kenakalan remaja, penyalahgunaan narkoba, dan bahkan ekstremisme seringkali memiliki akar yang terkait dengan masalah kesehatan mental yang tidak tertangani. Kebijakan yang mendukung kesehatan mental dapat menjadi instrumen penting untuk membangun masyarakat yang lebih kohesif dan damai.

Mengingat urgensi ini, politik kesehatan mental mencakup serangkaian kebijakan, regulasi, alokasi anggaran, dan strategi implementasi yang dirancang untuk mempromosikan kesehatan mental, mencegah gangguan mental, menyediakan layanan perawatan yang berkualitas, dan mengurangi stigma. Ini bukan sekadar urusan medis, melainkan sebuah agenda pembangunan nasional yang komprehensif.

Kilas Balik dan Perkembangan di Indonesia

Secara historis, isu kesehatan mental di Indonesia, seperti di banyak negara berkembang lainnya, cenderung terpinggirkan. Pendekatan yang dominan adalah kuratif dan institusional, dengan rumah sakit jiwa sebagai pusat utama perawatan. Stigma yang kuat terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) menyebabkan mereka seringkali disembunyikan, dipasung, atau diasingkan dari masyarakat.

Titik balik penting terjadi dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Undang-undang ini merupakan langkah maju yang signifikan, mengubah paradigma dari sekadar pengobatan menjadi pendekatan yang lebih holistik, mencakup upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. UU Kesehatan Jiwa juga menekankan hak-hak ODGJ, pelarangan pemasungan, serta pentingnya layanan berbasis komunitas. Ini adalah fondasi legal yang kuat untuk politik kesehatan mental di Indonesia.

Setelah disahkannya UU tersebut, beberapa inisiatif mulai bermunculan. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah menyusun Rencana Aksi Nasional Kesehatan Jiwa (RAN Keswa) dan mengintegrasikan layanan kesehatan mental ke dalam Puskesmas sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama. Beberapa daerah juga mulai menunjukkan inisiatif lokal untuk membentuk tim kesehatan jiwa di tingkat komunitas. Diskusi publik tentang kesehatan mental juga semakin meningkat, didorong oleh media sosial dan berbagai organisasi masyarakat sipil yang aktif mengadvokasi isu ini.

Pandemi COVID-19 juga turut mempercepat kesadaran akan pentingnya kesehatan mental. Lonjakan kasus kecemasan, depresi, dan stres akibat isolasi, kehilangan, dan ketidakpastian ekonomi membuat banyak orang menyadari bahwa kesehatan mental bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan dasar.

Tantangan dalam Mewujudkan Prioritas Sejati

Meskipun ada kemajuan dan fondasi legal yang kuat, pertanyaan apakah kesehatan mental telah menjadi prioritas nasional sejati di Indonesia masih belum bisa dijawab dengan tegas "ya". Ada sejumlah tantangan besar yang menghambat implementasi politik kesehatan mental yang efektif:

  1. Stigma yang Masih Mengakar Kuat: Meskipun ada peningkatan kesadaran, stigma terhadap ODGJ dan gangguan mental masih sangat kuat di masyarakat. Ini menghambat individu untuk mencari bantuan, menyebabkan diskriminasi, dan mempersulit upaya reintegrasi sosial. Politik kesehatan mental harus secara konsisten memerangi stigma ini melalui kampanye edukasi yang masif dan berkelanjutan.

  2. Alokasi Anggaran yang Minim: Salah satu indikator paling jelas dari prioritas politik adalah alokasi anggaran. Anggaran untuk kesehatan mental di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan kebutuhan dan dibandingkan dengan anggaran untuk kesehatan fisik. Dana yang tersedia seringkali tidak cukup untuk membangun infrastruktur, melatih tenaga profesional, atau menjalankan program promotif-preventif secara luas.

  3. Keterbatasan Infrastruktur dan Akses Layanan: Layanan kesehatan mental yang memadai masih sangat terbatas, terutama di daerah pedesaan dan terpencil. Jumlah rumah sakit jiwa, psikolog klinis, psikiater, dan konselor sangat tidak proporsional dengan jumlah penduduk Indonesia. Antrean panjang, biaya mahal, dan lokasi yang jauh menjadi hambatan besar bagi masyarakat untuk mengakses layanan.

  4. Kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM): Indonesia menghadapi kekurangan serius tenaga profesional kesehatan mental. Pendidikan dan pelatihan di bidang ini perlu ditingkatkan, dan insentif perlu diberikan agar lebih banyak profesional tertarik untuk bekerja di bidang kesehatan mental, terutama di daerah yang membutuhkan.

  5. Fragmentasi Layanan dan Kurangnya Integrasi: Meskipun ada upaya untuk mengintegrasikan layanan kesehatan mental ke Puskesmas, pelaksanaannya masih belum optimal. Seringkali, layanan kesehatan mental di tingkat primer tidak mendapatkan dukungan yang cukup, baik dari segi pelatihan SDM maupun ketersediaan obat-obatan esensial. Koordinasi antara berbagai sektor (pendidikan, sosial, tenaga kerja) yang sebenarnya sangat relevan dengan kesehatan mental juga masih lemah.

  6. Ketiadaan Data dan Riset yang Komprehensif: Kebijakan yang efektif harus didasarkan pada bukti. Di Indonesia, data epidemiologi yang komprehensif mengenai prevalensi gangguan mental di berbagai kelompok usia dan wilayah masih terbatas. Ini menyulitkan perencanaan program yang tepat sasaran dan evaluasi keberhasilan kebijakan.

  7. Politik Kehendak (Political Will) yang Fluktuatif: Meskipun ada UU Kesehatan Jiwa, implementasi dan keberlanjutannya sangat bergantung pada komitmen politik dari para pembuat kebijakan di berbagai tingkatan. Perubahan kepemimpinan atau fokus politik dapat menggeser perhatian dari isu kesehatan mental.

Menuju Prioritas Nasional Sejati: Langkah ke Depan

Agar politik kesehatan mental benar-benar menjadi prioritas nasional, diperlukan upaya kolektif dan berkelanjutan.

Pertama, penguatan kerangka hukum dan regulasi pelaksana. UU Kesehatan Jiwa perlu ditindaklanjuti dengan peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan pedoman teknis yang jelas agar implementasinya tidak hanya di atas kertas.

Kedua, peningkatan alokasi anggaran yang signifikan dan terdedikasi. Anggaran kesehatan mental harus dipandang sebagai investasi, bukan beban. Perlu ada persentase minimal dari total anggaran kesehatan yang dialokasikan khusus untuk kesehatan mental, serta mekanisme pengawasan yang kuat.

Ketiga, pembangunan infrastruktur layanan kesehatan mental berbasis komunitas. Fokus harus bergeser dari rumah sakit jiwa besar ke layanan yang lebih terjangkau, mudah diakses, dan terintegrasi di masyarakat, seperti Puskesmas, pusat kesehatan mental komunitas, dan layanan psikososial di sekolah dan tempat kerja.

Keempat, pengembangan dan pemerataan sumber daya manusia. Pemerintah harus berinvestasi dalam pendidikan, pelatihan, dan insentif bagi psikiater, psikolog, perawat jiwa, pekerja sosial, dan konselor. Pelatihan keterampilan dasar kesehatan mental juga perlu diberikan kepada tenaga kesehatan umum dan guru.

Kelima, kampanye edukasi publik yang masif dan berkelanjutan untuk menghapus stigma. Ini harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk media, tokoh masyarakat, dan figur publik, untuk mengubah persepsi negatif tentang gangguan mental.

Keenam, integrasi layanan kesehatan mental secara holistik. Ini berarti kesehatan mental harus menjadi bagian integral dari layanan kesehatan primer, pendidikan, sistem peradilan, dan program kesejahteraan sosial.

Ketujuh, investasi dalam data, riset, dan sistem pemantauan. Diperlukan sistem informasi kesehatan mental yang kuat untuk melacak prevalensi, akses layanan, dan hasil intervensi, yang akan menjadi dasar bagi kebijakan berbasis bukti.

Terakhir, pelibatan aktif dari penyintas dan keluarga mereka (people with lived experience) dalam perumusan dan evaluasi kebijakan. Suara mereka sangat berharga untuk memastikan kebijakan yang dibuat relevan dan efektif.

Kesimpulan

Politik kesehatan mental di Indonesia berada di persimpangan jalan. Ada tanda-tanda kemajuan, terutama dengan adanya UU Kesehatan Jiwa dan meningkatnya kesadaran publik. Namun, untuk benar-benar menjadi prioritas nasional, perjalanan masih panjang dan terjal. Diperlukan komitmen politik yang kuat, alokasi sumber daya yang memadai, dan perubahan paradigma di seluruh lapisan masyarakat.

Tanggung jawab ini tidak hanya berada di pundak pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat: akademisi, profesional kesehatan, organisasi masyarakat sipil, media, dan setiap individu. Hanya dengan kerja sama dan tekad yang kuat, Indonesia dapat memastikan bahwa kesehatan mental bukan lagi isu yang terpinggirkan, melainkan pilar utama dalam pembangunan manusia seutuhnya, mewujudkan masyarakat yang lebih sehat, produktif, dan sejahtera secara lahir dan batin.

Exit mobile version