Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) pada minggu ini, meskipun menimbulkan gelombang kritik dan penolakan dari berbagai lapisan masyarakat. Keputusan ini menandai babak baru dalam reformasi hukum pidana di Indonesia yang selama ini menjadi sorotan publik.
RUU KUHAP merupakan revisi dari KUHAP lama yang telah berlaku sejak tahun 1981. Pemerintah dan DPR menyatakan bahwa revisi ini bertujuan untuk memperkuat perlindungan hak asasi manusia, mempercepat proses peradilan, serta meningkatkan efisiensi penegakan hukum. Meski demikian, sejumlah pihak menilai beberapa pasal dalam RUU ini berpotensi menimbulkan kontroversi dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.
Salah satu isu yang paling mendapat sorotan adalah pasal mengenai kewenangan aparat penegak hukum dalam proses penyidikan. Kritik muncul karena sejumlah pasal dianggap memberikan ruang interpretasi yang luas bagi kepolisian dan jaksa, yang bisa berpotensi memicu penyalahgunaan wewenang. Selain itu, pasal yang terkait dengan penahanan dan penetapan tersangka juga menjadi perhatian, karena dianggap tidak sejalan dengan prinsip praduga tak bersalah.
Masyarakat sipil, akademisi, dan sejumlah organisasi non-pemerintah secara terbuka menolak beberapa ketentuan RUU KUHAP. Gelombang penolakan ini terlihat melalui aksi unjuk rasa, pernyataan di media sosial, serta opini publik yang tersebar luas. Banyak pihak menilai proses pembahasan RUU KUHAP terkesan terburu-buru dan kurang melibatkan partisipasi masyarakat secara maksimal.
Di sisi lain, DPR menegaskan bahwa pembahasan RUU KUHAP telah melalui serangkaian rapat kerja, dengar pendapat, serta konsultasi dengan berbagai pihak, termasuk praktisi hukum. Ketua Komisi III DPR menyampaikan bahwa revisi KUHAP penting untuk menyesuaikan hukum acara pidana dengan perkembangan teknologi, dinamika kejahatan modern, serta standar perlindungan hak asasi manusia yang lebih baik.
“Meski terdapat perbedaan pendapat, kami yakin RUU KUHAP yang baru ini akan memperkuat sistem peradilan pidana di Indonesia. Kami juga memastikan mekanisme pengawasan akan lebih ketat untuk mencegah penyalahgunaan wewenang,” ujarnya dalam konferensi pers yang digelar di gedung DPR.
Pakar hukum menilai, meski RUU KUHAP menghadapi penolakan, langkah DPR tetap sejalan dengan upaya modernisasi hukum pidana. Revisi KUHAP ini disebut penting untuk menghadapi tantangan penegakan hukum di era digital, seperti tindak pidana siber, korupsi, dan kejahatan lintas negara. Namun, pakar menekankan perlunya implementasi yang transparan dan akuntabel agar masyarakat tidak kehilangan kepercayaan pada sistem hukum.
Selain itu, proses sosialisasi dan edukasi kepada publik dianggap krusial agar masyarakat memahami tujuan dan manfaat revisi KUHAP. Tanpa pemahaman yang memadai, risiko misinformasi dan kekhawatiran yang berlebihan dapat terus meningkat. Oleh karena itu, DPR dan pemerintah diharapkan membuka ruang dialog yang lebih luas dengan berbagai kelompok masyarakat untuk menampung masukan sebelum RUU KUHAP diundangkan.
Kesimpulannya, penyelesaian pembahasan RUU KUHAP oleh DPR menandai tonggak penting dalam reformasi hukum pidana Indonesia. Meski diwarnai gelombang penolakan publik, revisi ini menawarkan peluang untuk memperkuat perlindungan hukum dan efisiensi peradilan. Tantangan ke depan adalah memastikan implementasi RUU berjalan transparan, adil, dan tetap berpihak pada hak-hak warga negara.
