Indonesia Tetapkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional, Picu Penolakan dari Kelompok HAM

Keputusan pemerintah menetapkan Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional langsung menjadi sorotan publik dan memicu perdebatan luas di berbagai kalangan. Meski sebagian pihak menilai Soeharto memiliki jasa besar dalam pembangunan ekonomi, stabilitas politik, dan konsolidasi negara pasca-1965, kelompok hak asasi manusia (HAM) menolak keras keputusan tersebut. Kontroversi ini membuka kembali perbincangan lama mengenai warisan Orde Baru dan bagaimana bangsa ini seharusnya memandang sejarah.

Alasan Pemerintah Mengusulkan Gelar

Dalam pernyataannya, pemerintah menyebutkan bahwa Soeharto dianggap berjasa dalam membangun fondasi ekonomi Indonesia, termasuk swasembada pangan, pembangunan infrastruktur dasar, serta program stabilisasi nasional di masa-masa genting. Pendukung gelar ini juga menyoroti perannya dalam modernisasi pemerintahan dan peningkatan kapasitas pertahanan negara.

Bagi sebagian kalangan, Soeharto adalah figur kuat yang mampu membawa Indonesia keluar dari kekacauan politik. Stabilitas yang ia ciptakan dinilai menjadi pondasi bagi pertumbuhan ekonomi yang pesat sepanjang dekade 1970–1990-an.

Gelombang Penolakan dari Kelompok HAM

Meski begitu, penetapan ini memicu kritik keras dari organisasi HAM, aktivis demokrasi, hingga keluarga korban pelanggaran HAM masa Orde Baru. Mereka menilai pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto mengabaikan sejarah kelam yang belum pernah benar-benar dituntaskan.

Sejumlah kelompok menyoroti berbagai tragedi yang terjadi selama rezimnya, termasuk pembatasan kebebasan sipil, penangkapan tanpa prosedur hukum, hilangnya aktivis prodemokrasi, serta berbagai operasi militer yang menimbulkan jatuhnya korban sipil. Mereka menilai bahwa negara seharusnya lebih dulu menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu sebelum memberikan penghargaan serupa.

Menurut para aktivis, pemberian gelar ini berisiko menghapus ingatan kolektif tentang perjuangan reformasi 1998 yang justru menuntut pertanggungjawaban terhadap berbagai praktik penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan penindasan politik.

Aktivis Reformasi Suarakan Keprihatinan

Selain kelompok HAM, tokoh-tokoh reformasi dan mahasiswa angkatan 1998 juga menyuarakan keberatan. Mereka menilai keputusan ini bertentangan dengan semangat demokratisasi yang diperjuangkan pada masa reformasi. Gelar pahlawan dianggap tidak tepat diberikan kepada tokoh yang menjadi simbol pemerintahan otoriter selama lebih dari tiga dekade.

Sebagian dari mereka khawatir bahwa penetapan ini dapat menjadi preseden untuk merevisi sejarah secara sepihak. Mereka menegaskan bahwa pengakuan terhadap jasa seseorang harus disertai pengakuan terhadap kesalahan dan pelanggaran yang terjadi, bukan dihapuskan begitu saja.

Dampak terhadap Kepercayaan Publik

Kontroversi ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai arah kebijakan politik nasional. Sebagian pengamat menilai keputusan tersebut dapat memengaruhi kepercayaan publik terhadap komitmen negara dalam penegakan HAM dan demokrasi. Ada kekhawatiran bahwa langkah ini dapat dimaknai sebagai upaya rehabilitasi politik tokoh Orde Baru tanpa melalui proses keadilan dan rekonsiliasi.

Generasi muda, yang sebagian besar tidak mengalami langsung masa Orde Baru, juga menjadi pihak yang paling memerlukan kejelasan sejarah. Pemberian gelar pahlawan dinilai dapat menimbulkan kebingungan mengenai standar kepahlawanan yang seharusnya dijunjung tinggi: apakah fokus pada pembangunan semata cukup untuk menghapus catatan pelanggaran HAM?

Kesimpulan

Kontroversi penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional menegaskan bahwa sejarah Indonesia masih menyimpan banyak luka yang belum sembuh. Bagi pendukung, Soeharto adalah arsitek pembangunan nasional. Namun bagi banyak kelompok HAM dan aktivis, ia adalah simbol penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM.

Debat ini menunjukkan bahwa rekonsiliasi sejarah tidak bisa dilakukan hanya dengan memberi gelar atau penghargaan. Diperlukan dialog nasional, pengakuan atas kebenaran, dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu agar bangsa ini dapat melangkah maju tanpa meninggalkan beban masa lampau.

Exit mobile version