Politik dan Milenial: Apakah Masih Ada Harapan Keterlibatan?
Generasi milenial, yang umumnya didefinisikan sebagai mereka yang lahir antara awal 1980-an hingga pertengahan 1990-an, kini merupakan segmen demografi terbesar di banyak negara, termasuk Indonesia. Dengan jumlah yang dominan, mereka seharusnya menjadi kekuatan pendorong utama dalam lanskap politik. Namun, paradoksnya, seringkali muncul narasi yang menggambarkan milenial sebagai apatis, tidak peduli, atau setidaknya, kurang terlibat dalam politik tradisional dibandingkan generasi sebelumnya. Pertanyaan besar yang mengemuka adalah: apakah masih ada harapan bagi keterlibatan politik yang berarti dari generasi milenial, ataukah jurang antara mereka dan politik akan terus melebar?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menyelami lebih dalam karakteristik milenial, tantangan yang mereka hadapi, bentuk-bentuk keterlibatan politik yang baru, serta strategi yang dapat menjembatani kesenjangan tersebut.
Mengurai Profil Milenial dalam Konteks Politik
Milenial adalah generasi yang tumbuh di era digital, di mana informasi mengalir tanpa henti dan konektivitas adalah norma. Karakteristik ini membentuk cara pandang mereka terhadap dunia, termasuk politik:
- Digital Native dan Keterbukaan Informasi: Mereka terbiasa dengan akses informasi yang instan dan beragam. Ini membuat mereka lebih kritis dan skeptis terhadap narasi tunggal atau otoritas tanpa dasar. Mereka mencari transparansi dan otentisitas.
- Peduli Isu Sosial dan Lingkungan: Isu-isu seperti perubahan iklim, kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan keadilan sosial seringkali lebih membakar semangat mereka daripada ideologi partai tradisional. Mereka cenderung berorientasi pada isu (issue-driven) daripada loyalitas partai.
- Skeptis terhadap Institusi Tradisional: Pengalaman tumbuh di tengah krisis ekonomi, skandal politik, dan ketidakpastian global telah menumbuhkan tingkat ketidakpercayaan yang tinggi terhadap pemerintah, partai politik, bahkan media arus utama. Mereka merasa institusi ini seringkali gagal mewakili kepentingan mereka atau terlalu lamban dalam beradaptasi.
- Mencari Dampak Nyata dan Kecepatan: Milenial terbiasa dengan kecepatan teknologi dan mengharapkan hasil yang cepat. Proses politik yang lambat, berbelit-belit, dan penuh retorika seringkali membuat mereka frustrasi dan merasa tidak efektif. Mereka lebih tertarik pada tindakan nyata yang menghasilkan perubahan daripada janji-janji kosong.
- Pragmatis dan Berorientasi Solusi: Meskipun idealis dalam nilai-nilai, mereka cenderung pragmatis dalam mencari solusi. Mereka ingin melihat bagaimana kebijakan secara langsung memengaruhi kehidupan mereka, seperti lapangan kerja, biaya hidup, dan akses teknologi.
Tantangan: Mengapa Milenial Tampak Jauh dari Politik Tradisional?
Ada beberapa faktor yang menjelaskan mengapa milenial seringkali enggan terlibat dalam politik konvensional:
- Disilusi dan Ketidakpercayaan: Banyak milenial menyaksikan politisi yang korup, janji-janji kampanye yang tidak ditepati, dan drama politik yang terasa jauh dari masalah riil. Ini menciptakan rasa disilusi yang mendalam, membuat mereka merasa bahwa suara mereka tidak akan membuat perbedaan atau bahwa sistem itu sendiri "rusak."
- Persepsi Politik yang "Kotor" dan Tidak Relevan: Politik seringkali digambarkan sebagai arena yang penuh intrik, fitnah, dan perpecahan. Citra negatif ini menjauhkan milenial yang cenderung mencari lingkungan yang kolaboratif dan konstruktif. Selain itu, bahasa dan diskursus politik tradisional seringkali terasa kaku dan tidak relevan dengan bahasa keseharian atau prioritas mereka.
- Struktur Politik yang Kaku dan Kurang Adaptif: Partai politik tradisional seringkali memiliki hierarki yang ketat dan lambat dalam mengadopsi cara-cara baru dalam berinteraksi. Mereka mungkin belum sepenuhnya memahami atau merangkul platform digital dan budaya komunikasi milenial. Ini menciptakan hambatan bagi milenial untuk merasa memiliki dan berkontribusi.
- Faktor Ekonomi Personal: Milenial sering menghadapi tekanan ekonomi yang unik, seperti biaya hidup yang tinggi, persaingan kerja yang ketat, dan ketidakpastian finansial. Fokus mereka mungkin lebih banyak tercurah pada kelangsungan hidup dan membangun karier, sehingga energi dan waktu untuk politik terasa mewah.
- Informasi Berlebihan dan Misinformasi: Meskipun digital native, mereka juga rentan terhadap banjir informasi yang tidak terverifikasi atau hoaks. Kesulitan memilah kebenaran dapat menyebabkan kelelahan informasi atau bahkan sinisme yang lebih dalam terhadap semua bentuk berita politik.
Bentuk Keterlibatan Milenial yang "Baru": Lebih dari Sekadar Kotak Suara
Meskipun terlihat menjauh dari politik tradisional, bukan berarti milenial sama sekali tidak terlibat. Bentuk keterlibatan mereka hanya berbeda, lebih cair, dan seringkali tidak terdeteksi oleh metrik partisipasi konvensional:
- Aktivisme Digital: Media sosial adalah medan perang sekaligus arena aktivisme milenial. Mereka terlibat dalam kampanye daring (online petitions), menyuarakan pendapat melalui tagar (hashtags), membagikan konten yang relevan, atau menggalang dukungan untuk isu-isu tertentu. Ini memungkinkan partisipasi massal tanpa harus turun ke jalan secara fisik.
- Konsumerisme Etis: Milenial cenderung menggunakan kekuatan belanja mereka sebagai bentuk pernyataan politik. Mereka mendukung merek yang memiliki nilai-nilai sosial atau lingkungan yang sama dengan mereka, atau memboikot produk/perusahaan yang dianggap tidak etis.
- Voluntarisme dan Advokasi Isu: Daripada bergabung dengan partai politik, banyak milenial memilih untuk terlibat dalam organisasi non-pemerintah (NGO), kelompok advokasi, atau proyek komunitas yang berfokus pada isu-isu spesifik yang mereka pedulikan. Mereka mencari dampak langsung dan nyata.
- Gerakan Akar Rumput dan Komunitas: Mereka seringkali menjadi bagian dari gerakan yang lebih kecil, lokal, atau berbasis komunitas yang bertujuan untuk memecahkan masalah spesifik di lingkungan mereka, daripada menunggu kebijakan dari tingkat pusat.
- "Slacktivism" vs. Aksi Nyata: Ada kritik bahwa aktivisme digital seringkali hanya "slacktivism" (aktivisme malas) yang tidak menghasilkan perubahan nyata. Namun, banyak juga yang menunjukkan bahwa aktivisme digital bisa menjadi pemicu awal untuk aksi yang lebih besar, menggalang kesadaran, dan memobilisasi dukungan untuk perubahan.
Membangun Jembatan: Strategi untuk Menumbuhkan Harapan Keterlibatan
Harapan keterlibatan milenial dalam politik masih sangat besar, asalkan ada upaya bersama dari berbagai pihak untuk membangun jembatan.
Dari Sisi Politisi dan Partai Politik:
- Modernisasi Komunikasi dan Platform: Politisi harus lebih aktif dan otentik di platform media sosial yang digunakan milenial (TikTok, Instagram, Twitter). Komunikasi harus langsung, jelas, dan menghindari jargon politik yang rumit. Mereka perlu mengadakan "digital town halls" atau sesi tanya jawab interaktif.
- Fokus pada Isu-isu Milenial: Kampanye dan kebijakan harus secara eksplisit membahas masalah yang relevan bagi milenial: lapangan kerja, ekonomi kreatif, teknologi, pendidikan berkualitas, keberlanjutan lingkungan, dan kesetaraan.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Keterbukaan data, penjelasan yang jelas tentang keputusan politik, dan mekanisme akuntabilitas yang kuat dapat membantu membangun kembali kepercayaan.
- Membuka Ruang Partisipasi yang Bermakna: Memberikan kesempatan bagi milenial untuk terlibat dalam perumusan kebijakan, bukan hanya sebagai pemilih. Ini bisa berupa forum konsultasi, komite penasihat yang berisi pemuda, atau program magang politik yang substansial.
- Mendorong Representasi: Membuka jalan bagi milenial untuk mencalonkan diri dan terpilih dalam posisi politik, baik di tingkat lokal maupun nasional, sehingga ada lebih banyak suara yang benar-benar mewakili generasi ini.
Dari Sisi Pendidikan dan Masyarakat:
- Pendidikan Politik yang Relevan: Kurikulum pendidikan harus mencakup pendidikan kewarganegaraan yang mengajarkan tidak hanya struktur pemerintahan, tetapi juga bagaimana berpartisipasi secara efektif, berpikir kritis, dan membedakan informasi yang valid.
- Literasi Media dan Digital: Mengajarkan milenial dan generasi selanjutnya bagaimana mengevaluasi sumber informasi, mengidentifikasi hoaks, dan menjadi konsumen berita yang cerdas.
- Mendorong Diskusi Konstruktif: Menciptakan ruang aman di komunitas dan kampus untuk diskusi politik yang sehat, di mana perbedaan pendapat dapat diekspresikan tanpa ketakutan akan serangan pribadi.
Dari Sisi Milenial Sendiri:
- Mengenali Kekuatan Kolektif: Milenial perlu menyadari bahwa jumlah dan pengaruh mereka sangat besar. Jika mereka bersatu dalam menyuarakan isu atau mendukung kandidat, mereka bisa menjadi kekuatan politik yang tak terhentikan.
- Berpindah dari Kritik ke Solusi: Meskipun kritik terhadap sistem itu valid, keterlibatan yang lebih dalam berarti juga menawarkan solusi dan secara aktif bekerja untuk perubahan, baik melalui jalur formal maupun informal.
- Edukasi Diri: Terus mencari informasi yang akurat, memahami isu-isu secara mendalam, dan tidak hanya mengandalkan berita viral atau media sosial.
Manfaat Keterlibatan Milenial
Keterlibatan milenial dalam politik bukanlah sekadar keinginan, melainkan sebuah kebutuhan krusial untuk masa depan demokrasi. Mereka membawa perspektif segar, inovasi, dan pemahaman yang mendalam tentang teknologi. Keterlibatan mereka dapat menghasilkan:
- Demokrasi yang Lebih Inklusif dan Representatif: Kebijakan yang lebih mencerminkan kebutuhan dan aspirasi segmen populasi terbesar.
- Inovasi dalam Tata Kelola: Ide-ide baru untuk memecahkan masalah lama, pemanfaatan teknologi untuk efisiensi, dan pendekatan yang lebih kolaboratif.
- Kebijakan yang Lebih Relevan untuk Masa Depan: Fokus pada isu-isu jangka panjang seperti keberlanjutan, inovasi, dan kesetaraan yang akan membentuk dunia mereka.
Kesimpulan
Apakah masih ada harapan keterlibatan milenial dalam politik? Jawabannya adalah ya, sangat ada. Namun, harapan ini tidak akan terwujud secara otomatis. Diperlukan upaya dua arah: politik harus beradaptasi dan menjadi lebih inklusif, relevan, dan transparan; sementara milenial juga harus melangkah lebih jauh dari sekadar pengamat atau kritikus menjadi agen perubahan yang aktif.
Generasi milenial memiliki potensi luar biasa untuk membentuk masa depan politik. Dengan nilai-nilai idealis, kemampuan digital, dan keinginan akan dampak nyata, mereka dapat merevitalisasi demokrasi jika lingkungan politik mampu menyambut dan memberdayakan mereka. Harapan itu ada, dan masa depan politik sebagian besar akan ditentukan oleh sejauh mana jembatan ini berhasil dibangun dan dilewati oleh kedua belah pihak.
