Mengapa Politik Identitas Masih Menjadi Senjata Utama dalam Pemilu

Politik Identitas: Mengapa Ia Masih Menjadi Senjata Utama dalam Pertarungan Pemilu Modern?

Dalam lanskap politik kontemporer yang terus bergejolak, satu fenomena yang tampaknya tak lekang oleh waktu dan bahkan kian menguat adalah penggunaan politik identitas sebagai senjata utama dalam setiap kontestasi pemilu. Dari pemilihan presiden hingga pemilihan kepala daerah, narasi yang dibangun di atas dasar kesamaan agama, etnis, ras, gender, atau bahkan ideologi tertentu, seringkali terbukti jauh lebih ampuh dalam menggerakkan massa dan memenangkan suara dibandingkan debat kebijakan yang substansial. Pertanyaannya kemudian adalah: mengapa politik identitas masih menjadi senjata utama dalam pertarungan pemilu modern, meskipun seringkali dikritik karena memecah belah dan mengaburkan isu-isu fundamental?

Untuk memahami fenomena ini, kita perlu menyelami berbagai lapisan kompleksitas yang melatarinya, mulai dari sifat dasar manusia, dinamika media modern, hingga kalkulasi politik elit.

I. Sifat Dasar Manusia: Kebutuhan Akan Afiliasi dan Rasa Aman

Pada intinya, politik identitas memanfaatkan kebutuhan mendasar manusia akan afiliasi dan rasa memiliki. Manusia adalah makhluk sosial yang secara inheren mencari kelompok untuk bernaung, merasa aman, dan menemukan makna. Ketika individu merasa menjadi bagian dari suatu kelompok dengan identitas yang sama, mereka cenderung mengembangkan rasa solidaritas, kepercayaan, dan loyalitas yang kuat terhadap kelompok tersebut.

Dalam konteks pemilu, seorang kandidat atau partai yang berhasil mengasosiasikan diri dengan identitas kelompok yang kuat—misalnya, sebagai "pembela agama tertentu," "representasi suara kaum minoritas," atau "simbol perjuangan kelompok etnis"—secara otomatis mendapatkan akses ke basis dukungan yang terikat secara emosional. Ikatan ini seringkali lebih kuat daripada pertimbangan rasional tentang rekam jejak, program kerja, atau visi masa depan. Pemilih merasa bahwa mendukung kandidat dari kelompok identitas mereka adalah bentuk dukungan terhadap diri mereka sendiri, nilai-nilai mereka, dan keberadaan kelompok mereka. Ini menciptakan dinamika "kita" versus "mereka" yang sangat efektif dalam memobilisasi suara, di mana "mereka" seringkali digambarkan sebagai ancaman atau oposisi terhadap nilai-nilai "kita."

II. Resonansi Emosional Versus Rasionalitas Kebijakan

Salah satu alasan paling kuat mengapa politik identitas begitu efektif adalah kemampuannya untuk beroperasi pada tingkat emosional yang mendalam, jauh melampaui logika dan rasionalitas. Berbeda dengan platform kebijakan yang kompleks dan seringkali kering, identitas memicu perasaan fundamental seperti kebanggaan, kesetiaan, ketakutan, dan kemarahan.

Ketika seorang politisi berhasil mengasosiasikan diri dengan identitas kelompok tertentu—baik itu agama, etnis, atau ideologi—ia tidak hanya memenangkan suara, tetapi juga membangun ikatan emosional yang kuat dengan pemilihnya. Ikatan ini seringkali lebih tahan banting terhadap kritik rasional atau bukti faktual. Narasi yang sederhana, jelas, dan seringkali biner—’kita’ versus ‘mereka’—lebih mudah dicerna dan disebarkan dibandingkan argumen kebijakan yang nuansanya kompleks. Emosi yang membara dapat mengaburkan nalar, membuat pemilih kurang kritis terhadap janji-janji yang diberikan atau kekurangan kandidat yang diusung.

Di sisi lain, perdebatan kebijakan yang berfokus pada ekonomi, pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur, meskipun vital, seringkali membutuhkan pemahaman yang mendalam, analisis data, dan kesabaran untuk melihat hasil jangka panjang. Bagi sebagian besar pemilih yang sibuk dengan kehidupan sehari-hari, informasi semacam ini terasa memberatkan dan kurang relevan secara emosional dibandingkan dengan seruan yang menggetarkan hati tentang identitas dan ancaman terhadapnya.

III. Melemahnya Ideologi dan Partai Politik Tradisional

Di banyak negara, termasuk Indonesia, kita menyaksikan pelemahan ideologi politik yang jelas dan menguatnya politik personalistik. Partai-partai politik tradisional seringkali gagal menawarkan visi yang koheren atau solusi konkret terhadap masalah-masalah sosial-ekonomi yang mendesak. Batas-batas ideologis antara partai kiri, kanan, atau tengah menjadi semakin kabur, dengan banyak partai mengadopsi posisi yang pragmatis dan mirip satu sama lain dalam isu-isu ekonomi atau pembangunan.

Dalam kondisi kekosongan ideologis ini, identitas menjadi alat diferensiasi yang paling mudah dan efektif. Jika semua partai menawarkan program ekonomi yang serupa, bagaimana cara membedakan diri? Jawabannya terletak pada mobilisasi identitas. Politisi dapat dengan mudah mengklaim diri sebagai "yang paling Islami," "yang paling nasionalis," atau "yang paling membela kaum adat," tanpa perlu berinvestasi besar dalam perumusan kebijakan yang mendalam. Ini adalah jalan pintas yang menarik untuk meraih dukungan di tengah apatisme politik dan ketidakpercayaan publik terhadap institusi.

IV. Peran Media Sosial dan Ruang Gema Informasi

Perkembangan teknologi informasi, khususnya media sosial, telah menjadi katalisator kuat bagi politik identitas. Algoritma media sosial cenderung menciptakan "ruang gema" (echo chambers) dan "gelembung filter" (filter bubbles), di mana individu lebih banyak terpapar pada informasi dan pandangan yang sudah sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Ini memperkuat bias konfirmasi dan membuat individu semakin mengakar pada identitas kelompoknya, sekaligus semakin teralienasi dari kelompok lain.

Penyebaran informasi yang cepat, baik yang benar maupun hoaks, melalui media sosial memungkinkan narasi politik identitas, terutama yang bersifat polarisasi, untuk menyebar dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Politisi dan tim kampanye dapat dengan mudah menargetkan audiens berdasarkan demografi dan preferensi identitas mereka, mengirimkan pesan-pesan yang disesuaikan dan dirancang untuk memicu emosi tertentu. Misinformasi dan disinformasi, yang seringkali menargetkan identitas kelompok lain, menjadi alat ampuh untuk menanamkan ketakutan dan kebencian, memperkuat loyalitas terhadap kelompok "kita," dan melemahkan lawan.

V. Oportunisme Elit Politik dan Kalkulasi Elektoral

Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu pendorong utama di balik dominasi politik identitas adalah oportunisme elit politik itu sendiri. Bagi banyak politisi, kemenangan elektoral adalah tujuan utama, dan jika menggunakan identitas adalah cara paling efektif untuk mencapainya, maka mereka tidak akan ragu untuk melakukannya.

Politisi yang cerdas membaca peta demografi dan psikologi sosial pemilih. Mereka melihat bahwa basis pemilih seringkali lebih mudah digerakkan oleh sentimen identitas daripada janji-janji kebijakan yang rumit. Menggunakan politik identitas adalah strategi "buah yang rendah" (low-hanging fruit) yang relatif murah dan cepat dalam menghasilkan dukungan massa. Mereka memanfaatkan ketegangan yang sudah ada di masyarakat, memperbesar perbedaan, dan menciptakan musuh bersama untuk mempersatukan basis mereka.

Kurangnya etika politik, lemahnya penegakan hukum terhadap ujaran kebencian, dan ketiadaan sanksi sosial yang kuat bagi politisi yang memecah belah, semakin memperkuat kecenderungan ini. Selama politik identitas masih terbukti efektif dalam memenangkan pemilu, para elit akan terus menjadikannya senjata utama mereka.

VI. Disparitas Sosial-Ekonomi dan Frustrasi Publik

Di tengah kesenjangan sosial-ekonomi yang melebar, ketidakadilan, dan kegagalan pemerintah dalam memenuhi janji-janji kesejahteraan, banyak masyarakat merasa terpinggirkan dan tidak terwakili. Dalam kondisi frustrasi ini, politik identitas seringkali menjadi saluran ekspresi bagi kemarahan dan ketidakpuasan.

Ketika individu merasa bahwa sistem tidak bekerja untuk mereka, atau bahwa identitas mereka—baik itu etnis, agama, atau daerah—telah diabaikan atau bahkan direndahkan, mereka cenderung mencari solidaritas dalam kelompok identitas mereka. Politisi yang mampu merangkul narasi ini, menampilkan diri sebagai pembela identitas yang terpinggirkan atau tertindas, dapat dengan mudah memobilisasi dukungan yang sangat kuat. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap status quo, di mana identitas menjadi bendera perjuangan bagi mereka yang merasa tidak punya suara.

VII. Erosi Kepercayaan pada Institusi

Penurunan kepercayaan publik terhadap institusi-institusi tradisional seperti pemerintah, partai politik, media massa arus utama, dan bahkan lembaga peradilan, juga berkontribusi pada meningkatnya ketergantungan pada politik identitas. Ketika masyarakat tidak lagi percaya pada mekanisme formal untuk menyampaikan aspirasi atau menyelesaikan masalah, mereka cenderung kembali ke jaringan sosial dan kelompok identitas terdekat mereka sebagai sumber informasi, validasi, dan perlindungan.

Dalam konteks ini, kelompok identitas menjadi semacam "benteng" terakhir bagi individu yang merasa tidak aman atau tidak terwakili oleh sistem yang lebih besar. Politisi yang mengadopsi politik identitas dapat memposisikan diri sebagai satu-satunya "pelindung" atau "penyelamat" dari kelompok identitas tersebut, semakin memperkuat ketergantungan pemilih pada narasi identitas.

Kesimpulan

Politik identitas masih menjadi senjata utama dalam pemilu modern bukan karena kebetulan, melainkan karena konvergensi berbagai faktor yang mendalam dan kompleks. Ia memanfaatkan kebutuhan dasar manusia akan afiliasi, beroperasi pada tingkat emosional yang kuat, mengisi kekosongan ideologis, diperkuat oleh dinamika media sosial, dieksploitasi secara oportunistik oleh elit politik, dan menjadi saluran bagi frustrasi sosial-ekonomi di tengah erosi kepercayaan pada institusi.

Meskipun seringkali mengarah pada polarisasi, perpecahan sosial, dan pengabaian isu-isu substansial, efektivitasnya dalam menggerakkan massa dan memenangkan suara membuatnya tetap menjadi pilihan utama bagi banyak kontestan politik. Tantangan bagi demokrasi modern adalah bagaimana membangun kembali jembatan dialog, mempromosikan literasi politik dan media, serta mendorong fokus pada nilai-nilai bersama dan kebijakan yang inklusif, sehingga politik identitas dapat ditempatkan kembali pada porsi yang sehat, bukan sebagai senjata pemecah belah yang dominan. Tanpa upaya kolektif dari masyarakat, politisi yang berintegritas, dan institusi yang kuat, politik identitas akan terus menjadi bayang-bayang yang menghantui setiap kontestasi demokrasi.

Exit mobile version