Kontroversi Presidential Threshold: Menguji Demokrasi dan Keterwakilan dalam Sistem Pemilu Indonesia
Sistem pemilu adalah jantung dari setiap negara demokrasi, dirancang untuk memastikan bahwa kekuasaan politik berasal dari rakyat. Di Indonesia, salah satu elemen krusial namun sekaligus paling kontroversial dalam sistem pemilu presiden adalah ambang batas pencalonan presiden, atau yang lebih dikenal dengan Presidential Threshold (PT). Ketentuan ini telah menjadi subjek perdebatan sengit, gugatan hukum berulang, dan kritik pedas dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, praktisi hukum, politisi, hingga masyarakat sipil. Kontroversi seputar Presidential Threshold bukan hanya tentang angka persentase, tetapi menyentuh inti dari prinsip-prinsip demokrasi, hak konstitusional, dan masa depan lanskap politik Indonesia.
Memahami Presidential Threshold: Definisi dan Sejarah Singkat
Presidential Threshold adalah persyaratan bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk memiliki jumlah kursi tertentu di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau persentase suara sah nasional tertentu dari hasil pemilu legislatif sebelumnya, agar dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Di Indonesia, dasar hukum Presidential Threshold tercantum dalam Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1949 (UUD 1945) yang berbunyi: "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum." Namun, penafsiran dan implementasinya secara spesifik diatur dalam undang-undang tentang pemilihan umum.
Sejarah Presidential Threshold di Indonesia dimulai pasca-reformasi. Pada Pemilu 2004, yang merupakan pemilu presiden langsung pertama, ambang batas ditetapkan sebesar 15% kursi DPR atau 20% suara sah nasional. Angka ini kemudian dinaikkan menjadi 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional untuk Pemilu 2009, 2014, dan 2019. Kebijakan ini, yang sering disebut sebagai parliamentary threshold untuk presiden, pada dasarnya mengaitkan hasil pemilu legislatif sebelumnya dengan hak pencalonan di pemilu presiden berikutnya. Ini berbeda dengan negara-negara lain yang mungkin memiliki ambang batas dukungan rakyat langsung (misalnya melalui petisi) atau bahkan tanpa ambang batas sama sekali bagi partai yang telah lolos verifikasi pemilu.
Argumen Pro-Presidential Threshold: Stabilitas dan Efisiensi Pemerintahan
Para pendukung Presidential Threshold berargumen bahwa ketentuan ini memiliki tujuan mulia demi stabilitas dan efisiensi sistem pemerintahan presidensial. Beberapa poin utama argumen mereka adalah:
- Mencegah Fragmentasi Calon dan Koalisi yang Tidak Stabil: Dengan adanya ambang batas, jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden cenderung lebih sedikit. Ini diharapkan dapat mencegah fragmentasi suara dan munculnya terlalu banyak kandidat yang berpotensi menyulitkan pemilih dalam menentukan pilihan. Jumlah calon yang terbatas juga diasumsikan akan menghasilkan koalisi partai yang lebih solid dan stabil di parlemen, sehingga memudahkan presiden terpilih untuk menjalankan roda pemerintahan tanpa hambatan signifikan dari oposisi yang terlalu banyak dan beragam.
- Menciptakan Pemerintahan yang Efektif: Presiden yang didukung oleh koalisi besar di parlemen akan lebih mudah dalam mengimplementasikan kebijakan, mengesahkan undang-undang, dan mendapatkan dukungan untuk program-program pembangunan. Ini dianggap krusial untuk efektivitas birokrasi dan stabilitas politik jangka panjang.
- Menguatkan Sistem Kepartaian: Presidential Threshold mendorong partai-partai kecil untuk bergabung dalam koalisi besar, yang secara teoritis dapat menguatkan sistem kepartaian di Indonesia. Ini diharapkan mengurangi jumlah partai gurem dan mendorong konsolidasi kekuatan politik, menciptakan partai-partai yang lebih besar dan mapan.
- Menjamin Legitimasi Calon: Dengan harus meraih dukungan dari hasil pemilu legislatif sebelumnya, calon presiden dianggap memiliki basis dukungan politik yang lebih teruji dan representatif, bukan sekadar popularitas sesaat atau dukungan perseorangan.
Argumen Kontra-Presidential Threshold: Pembatasan Hak dan Degradasi Demokrasi
Meskipun memiliki tujuan stabilitas, kritik terhadap Presidential Threshold jauh lebih gencar dan mendalam. Para penentang melihatnya sebagai penghalang demokrasi, pembatasan hak konstitusional, dan pemicu masalah baru dalam sistem politik.
- Pembatasan Hak Konstitusional untuk Dipilih: Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa "Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan." Dengan adanya ambang batas, tidak semua partai politik yang sah dan telah lolos verifikasi pemilu memiliki kesempatan yang sama untuk mengajukan calon presiden. Ini dianggap melanggar hak konstitusional warga negara untuk dipilih dan memilih, karena hak untuk memilih menjadi semu jika pilihan calon yang tersedia sangat terbatas.
- Merusak Prinsip Kesetaraan dan Kedaulatan Rakyat: Ide dasar pemilu adalah bahwa setiap suara memiliki bobot yang sama dan setiap partai yang memenuhi syarat memiliki hak yang sama. Presidential Threshold menciptakan hierarki di antara partai politik, di mana hanya partai besar atau koalisi partai yang sudah mapan yang memiliki hak penuh untuk mencalonkan. Ini dinilai mereduksi kedaulatan rakyat, karena pilihan calon tidak ditentukan sepenuhnya oleh kehendak rakyat, melainkan oleh hasil pemilu legislatif sebelumnya yang mungkin tidak relevan dengan preferensi rakyat untuk calon presiden.
- Menciptakan Oligarki Partai dan Kartel Politik: Ketentuan ini secara efektif mengkonsolidasikan kekuasaan di tangan segelintir partai politik besar yang sudah ada. Partai-partai baru atau partai kecil yang ingin menawarkan alternatif kepemimpinan nasional terhalang untuk berkompetisi. Hal ini menciptakan "kartel politik" di mana partai-partai besar memiliki kontrol eksklusif atas arena pencalonan, membatasi munculnya pemimpin baru dari luar lingkaran elit politik yang sudah mapan.
- Membatasi Pilihan Pemilih: Dampak langsung dari pembatasan calon adalah terbatasnya pilihan bagi pemilih. Jika hanya ada dua atau tiga pasangan calon, pemilih mungkin merasa tidak terwakili dan terpaksa memilih yang "kurang buruk" daripada yang benar-benar diinginkan. Ini dapat mengurangi antusiasme pemilih dan bahkan mengikis kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.
- Mendorong Politik Transaksional dan Pragmatisme: Untuk memenuhi ambang batas, partai-partai seringkali dipaksa untuk membentuk koalisi yang mungkin tidak didasari oleh kesamaan ideologi atau platform, melainkan semata-mata oleh perhitungan elektoral. Ini dapat memicu politik transaksional, tawar-menawar kursi, dan bahkan mahar politik yang merusak integritas proses pencalonan.
- Inkonsistensi dengan Pemilu Serentak: Sejak Pemilu 2019, Indonesia menerapkan pemilu serentak antara legislatif dan presiden. Kontroversi semakin memuncak karena ambang batas didasarkan pada hasil pemilu legislatif yang sudah lewat, padahal pemilu legislatif dan presiden dilaksanakan bersamaan. Ini menciptakan anomali: bagaimana hasil pemilu legislatif yang belum diketahui dapat menjadi dasar untuk pencalonan presiden yang sedang berjalan? Idealnya, jika pemilu serentak, ambang batas nol atau ambang batas yang didasarkan pada dukungan langsung rakyat (misalnya melalui petisi) akan lebih masuk akal.
Dinamika Hukum dan Putusan Mahkamah Konstitusi
Kontroversi Presidential Threshold telah berulang kali dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) melalui uji materiil undang-undang. Namun, secara konsisten MK menolak permohonan tersebut. Argumen utama MK dalam penolakannya seringkali berkisar pada konsep "kebijakan hukum terbuka" (open legal policy). MK berpandangan bahwa penetapan ambang batas adalah ranah pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) dan bukan domain MK untuk mengintervensi, selama tidak secara nyata melanggar UUD 1945.
Putusan MK ini menuai kritik tajam. Para kritikus berpendapat bahwa MK terlalu konservatif dan tidak berani mengambil sikap progresif dalam melindungi hak konstitusional warga negara. Mereka berargumen bahwa meskipun merupakan open legal policy, kebijakan tersebut tidak boleh melanggar hak dasar warga negara untuk memilih dan dipilih. Penolakan berulang MK ini memperkuat kesan bahwa Presidential Threshold adalah alat politik yang dipertahankan oleh partai-partai yang diuntungkan olehnya.
Implikasi dan Dampak Terhadap Demokrasi Indonesia
Presidential Threshold memiliki implikasi mendalam terhadap lanskap demokrasi Indonesia:
- Terbatasnya Regenerasi Kepemimpinan: Dengan sulitnya partai baru atau tokoh non-partai untuk mencalonkan diri, proses regenerasi kepemimpinan nasional menjadi terhambat. Elite politik yang sama cenderung mendominasi, membatasi peluang bagi figur-figur baru yang mungkin memiliki visi segar dan dukungan publik yang kuat namun tidak berafiliasi dengan partai besar.
- Polarisasi Politik: Jika pilihan calon sangat terbatas, misalnya hanya dua pasangan calon, ini dapat memicu polarisasi ekstrem di masyarakat, seperti yang terlihat pada Pemilu 2014 dan 2019. Masyarakat terbelah menjadi dua kubu yang saling berhadapan, yang berpotensi mengancam persatuan nasional.
- Melemahnya Fungsi Kontrol Publik: Ketika partai-partai dipaksa berkoalisi hanya untuk memenuhi ambang batas, garis antara koalisi pemerintah dan oposisi menjadi kabur. Ini dapat melemahkan fungsi kontrol dan check and balance dalam sistem politik, karena partai-partai cenderung saling melindungi kepentingan dalam koalisi.
Mencari Titik Temu: Alternatif dan Tantangan
Mengingat kompleksitas dan dampak yang ditimbulkan, perdebatan tentang Presidential Threshold masih akan terus berlanjut. Berbagai alternatif telah diajukan, antara lain:
- Presidential Threshold Nol Persen: Ini berarti setiap partai politik yang telah lolos verifikasi pemilu dan memenuhi syarat administrasi berhak mencalonkan presiden dan wakil presiden. Argumennya adalah ini akan memaksimalkan hak konstitusional dan memberikan pilihan yang lebih luas bagi pemilih.
- Penurunan Persentase Ambang Batas: Mengurangi ambang batas menjadi angka yang lebih rendah (misalnya 10% atau 5%) untuk memberikan ruang bagi lebih banyak partai untuk mencalonkan.
- Ambang Batas Berdasarkan Dukungan Langsung Rakyat: Mengubah basis ambang batas dari hasil legislatif sebelumnya menjadi dukungan langsung dari sejumlah tanda tangan warga negara, seperti di beberapa negara lain. Ini akan lebih mencerminkan kedaulatan rakyat secara langsung.
Tantangan terbesar dalam merevisi Presidential Threshold adalah menemukan titik temu antara kebutuhan akan stabilitas pemerintahan dan prinsip-prinsip demokrasi yang inklusif dan partisipatif. Perlu ada kesadaran kolektif dari seluruh pemangku kepentingan bahwa sistem pemilu yang sehat adalah fondasi bagi demokrasi yang kuat dan berkelanjutan.
Kesimpulan
Kontroversi Presidential Threshold adalah cerminan dari tarik-menarik abadi antara kebutuhan akan stabilitas politik dan tuntutan akan demokrasi yang lebih inklusif dan representatif. Meskipun para pendukungnya mengklaim bahwa ini adalah alat untuk menciptakan pemerintahan yang efektif, para kritikus melihatnya sebagai penghalang yang merusak prinsip kesetaraan, membatasi pilihan pemilih, dan melanggengkan oligarki politik.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang konsisten menolak gugatan terhadap ketentuan ini semakin memperpanjang perdebatan. Di tengah tantangan demokrasi global dan kebutuhan untuk memperkuat partisipasi publik, Indonesia harus mengevaluasi ulang apakah Presidential Threshold saat ini benar-benar melayani kepentingan rakyat atau justru menjadi alat bagi elite politik untuk mempertahankan kekuasaan. Diskusi yang jujur dan berani tentang ambang batas ini sangat penting untuk memastikan bahwa sistem pemilu Indonesia terus berkembang menjadi lebih adil, transparan, dan benar-benar mencerminkan kedaulatan rakyat. Masa depan demokrasi Indonesia sangat bergantung pada bagaimana kita menyelesaikan kontroversi fundamental ini.