Ketika Hukum Jadi Alat Politik: Ancaman Terhadap Demokrasi dan Keadilan di Indonesia
Hukum, dalam cita-cita luhurnya, adalah pilar utama sebuah negara beradab. Ia seharusnya menjadi instrumen keadilan, penjaga ketertiban, dan pelindung hak asasi setiap warga negara, tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau afiliasi politik. Supremasi hukum (rule of law) mengandaikan bahwa tidak ada seorang pun yang berada di atas hukum, dan bahwa hukum ditegakkan secara imparsial dan konsisten. Namun, realitas seringkali jauh dari idealisme ini. Di banyak negara, termasuk Indonesia, fenomena Ketika Hukum Jadi Alat Politik bukanlah sekadar hipotesis, melainkan sebuah kenyataan pahit yang mengancam fondasi demokrasi dan keadilan.
I. Hukum: Antara Cita-cita dan Realitas Politik
Secara teoritis, hukum dan politik memiliki hubungan yang kompleks namun seharusnya saling melengkapi. Politik merumuskan kehendak rakyat melalui proses legislasi untuk menghasilkan hukum. Hukum, pada gilirannya, memberikan batasan dan kerangka bagi praktik politik agar tidak menyimpang dari koridor konstitusi dan nilai-nilai demokrasi. Ketika batasan ini kabur, atau bahkan sengaja diabaikan, hukum kehilangan independensinya dan berubah menjadi perpanjangan tangan kekuasaan politik.
Di Indonesia, transisi dari rezim otoriter Orde Baru ke era Reformasi pasca-1998 diwarnai harapan besar akan penegakan hukum yang independen. Namun, warisan panjang penggunaan hukum sebagai alat legitimasi dan represi politik tidak mudah dihilangkan. Institusi hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, yang seharusnya netral, seringkali masih rentan terhadap intervensi kekuasaan. Ini menciptakan paradoks: hukum yang seharusnya menjadi tameng bagi yang lemah, justru menjadi pedang bagi yang berkuasa untuk menyingkirkan lawan atau membungkam kritik.
II. Modus Operandi: Bagaimana Hukum Dijadikan Alat Politik?
Ada beberapa cara utama di mana hukum di Indonesia kerap disalahgunakan untuk kepentingan politik:
-
Selektivitas Penegakan Hukum: Ini adalah modus paling kentara. Kasus-kasus tertentu ditangani dengan sangat cepat dan agresif jika melibatkan lawan politik atau kelompok yang dianggap mengganggu kepentingan penguasa. Sebaliknya, kasus serupa yang melibatkan sekutu politik atau lingkaran kekuasaan seringkali berjalan lambat, bahkan mandek, atau berakhir dengan vonis ringan. Contoh klasik adalah perbedaan perlakuan terhadap kasus korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh yang berbeda afiliasi politik. Kasus yang sama dapat diproses cepat jika berlawanan, atau mengendap jika sejalan.
-
Kriminalisasi dan De-kriminalisasi: Kriminalisasi adalah upaya menjadikan tindakan tertentu sebagai tindak pidana dengan motif politik, bukan murni penegakan hukum. Hal ini sering menargetkan aktivis, jurnalis, atau oposisi yang vokal. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah contoh paling sering disorot, di mana pasal-pasal karetnya digunakan untuk menjerat individu karena kritik atau ekspresi pendapat, seringkali dengan dalih pencemaran nama baik atau ujaran kebencian. Sebaliknya, de-kriminalisasi adalah upaya untuk mengendurkan atau menghilangkan jeratan hukum bagi sekutu politik atau untuk melindungi kepentingan tertentu, misalnya melalui revisi undang-undang atau penerbitan kebijakan baru.
-
Intervensi Kekuasaan dalam Proses Hukum: Penguasa dapat mengintervensi proses hukum secara langsung maupun tidak langsung. Ini bisa melalui tekanan terhadap penyidik, jaksa, atau hakim; melalui pengaturan mutasi atau promosi pejabat di lembaga hukum; atau bahkan melalui penempatan orang-orang yang loyal pada posisi-posisi kunci di lembaga peradilan. Independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, telah berulang kali dipertanyakan setelah revisi undang-undangnya dan serangkaian peristiwa yang dianggap melemahkan lembaga antirasuah tersebut, seringkali diinterpretasikan sebagai upaya politik untuk mengontrol geraknya.
-
Penyalahgunaan Proses Legislasi: Hukum dibentuk melalui proses legislasi. Namun, ketika proses ini didominasi oleh kepentingan politik sempit, undang-undang yang dihasilkan bisa jadi tidak mencerminkan kehendak rakyat atau keadilan substantif. Undang-undang dapat dirancang untuk memberi keuntungan kelompok tertentu, membatasi hak-hak sipil, atau bahkan melemahkan checks and balances. Contohnya adalah percepatan pengesahan undang-undang kontroversial tanpa partisipasi publik yang memadai, atau penggunaan undang-undang sapu jagat (omnibus law) yang mengabaikan detail dan aspirasi berbagai pihak.
-
"Abuse of Process" (Penyalahgunaan Prosedur Hukum): Ini melibatkan manipulasi prosedur hukum yang sah untuk mencapai tujuan politik. Misalnya, pengajuan gugatan hukum yang berulang-ulang untuk menguras energi dan sumber daya lawan politik, atau penggunaan proses penyelidikan dan penyidikan yang berlarut-larut tanpa kejelasan, semata-mata untuk menjaga seseorang dalam status tersangka dan merusak reputasinya.
III. Studi Kasus Indonesia: Beberapa Contoh Pola
Meskipun artikel ini tidak akan menyebutkan nama-nama individu atau kasus spesifik yang masih dalam proses hukum untuk menjaga objektivitas, pola-pola penyalahgunaan hukum untuk tujuan politik di Indonesia dapat diamati dalam berbagai konteks:
-
Pelemahan Lembaga Anti-Korupsi: Sejak era Reformasi, KPK menjadi simbol harapan pemberantasan korupsi. Namun, berulang kali lembaga ini menghadapi upaya pelemahan, baik melalui revisi undang-undang yang membatasi kewenangannya, pengalihan status pegawainya, hingga serangan personal terhadap pimpinan dan penyidiknya. Banyak pengamat melihat ini sebagai upaya sistematis dari kekuatan politik yang merasa terancam oleh kerja KPK.
-
Kasus UU ITE dan Kebebasan Berpendapat: Sejumlah kasus pencemaran nama baik, ujaran kebencian, atau penistaan agama yang dijeratkan menggunakan UU ITE seringkali menyasar individu yang kritis terhadap pemerintah atau pihak berkuasa. Ironisnya, banyak laporan yang diajukan oleh pihak berkuasa atau terafiliasi dengannya diproses cepat, sementara laporan serupa dari masyarakat sipil seringkali mengendap. Ini menciptakan efek "chilling effect" yang menghambat kebebasan berpendapat.
-
Kontroversi dalam Pemilihan Umum dan Hukum Pemilu: Sengketa hasil pemilihan umum, baik di tingkat lokal maupun nasional, seringkali diwarnai dugaan intervensi politik dalam proses hukum. Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung yang kontroversial, terutama yang terkait dengan syarat pencalonan atau diskualifikasi peserta pemilu, kerap menimbulkan pertanyaan tentang independensi dan imparsialitasnya.
-
Penanganan Demonstrasi dan Gerakan Sosial: Penegakan hukum terhadap peserta demonstrasi atau gerakan sosial juga seringkali dianggap tidak seimbang. Beberapa kelompok demonstran ditindak tegas dan cepat, sementara yang lain, yang mungkin memiliki dukungan politik, mendapatkan perlakuan yang lebih lunak. Ini menunjukkan bahwa motif di balik penegakan hukum bisa jadi bukan murni pelanggaran hukum, melainkan upaya untuk mengontrol atau membubarkan gerakan yang tidak diinginkan secara politik.
IV. Dampak dan Konsekuensi Fatal
Fenomena Ketika Hukum Jadi Alat Politik memiliki konsekuensi yang sangat merusak bagi negara dan masyarakat:
-
Erosi Kepercayaan Publik: Ketika masyarakat melihat hukum diperlakukan secara tidak adil dan selektif, kepercayaan terhadap lembaga hukum dan sistem peradilan akan runtuh. Ini berbahaya karena legitimasi pemerintah dan stabilitas sosial sangat bergantung pada kepercayaan terhadap penegakan hukum yang adil.
-
Ancaman terhadap Demokrasi: Hukum yang dijadikan alat politik adalah antitesis demokrasi. Demokrasi membutuhkan checks and balances yang kuat, termasuk lembaga peradilan yang independen, untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Ketika hukum diinstrumentalisasi, demokrasi menjadi fatamorgana.
-
Ketidakpastian Hukum dan Iklim Investasi: Investor membutuhkan kepastian hukum. Jika hukum dapat dibengkokkan atau ditegakkan secara selektif untuk kepentingan politik, maka iklim investasi menjadi tidak menarik. Ini menghambat pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
-
Perpetuasi Korupsi dan Impunitas: Ketika hukum dapat "dibeli" atau "diatur" secara politik, korupsi akan semakin merajalela. Pelaku korupsi dengan koneksi politik akan merasa kebal hukum, sementara yang tidak memiliki koneksi akan menjadi korban. Ini menciptakan lingkaran setan impunitas.
-
Pelanggaran Hak Asasi Manusia: Kriminalisasi terhadap kritik, penangkapan sewenang-wenang, dan peradilan yang tidak adil adalah bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang serius.
V. Jalan ke Depan: Membangun Kembali Supremasi Hukum
Mengembalikan hukum pada khitahnya sebagai penjaga keadilan dan bukan alat politik adalah tantangan besar yang membutuhkan komitmen multi-pihak:
-
Penguatan Independensi Lembaga Hukum: Memastikan lembaga kepolisian, kejaksaan, dan peradilan bebas dari intervensi eksekutif, legislatif, dan kekuatan politik lainnya. Ini termasuk mekanisme pengangkatan pejabat yang transparan, sistem promosi yang berbasis meritokrasi, dan jaminan keamanan bagi penegak hukum yang berintegritas.
-
Reformasi Sistem Hukum Menyeluruh: Melakukan evaluasi dan revisi undang-undang yang multitafsir atau berpotensi disalahgunakan (seperti UU ITE). Memperkuat kode etik profesi hukum dan meningkatkan kualitas pendidikan hukum.
-
Peran Aktif Masyarakat Sipil dan Media: Masyarakat sipil dan media massa memiliki peran krusial sebagai pengawas. Melalui advokasi, investigasi, dan kampanye kesadaran, mereka dapat menekan pemerintah untuk menegakkan hukum secara adil dan transparan.
-
Pendidikan dan Kesadaran Hukum: Meningkatkan literasi hukum di kalangan masyarakat agar mereka memahami hak-hak mereka dan mampu mengidentifikasi penyalahgunaan kekuasaan.
-
Kepemimpinan Berintegritas: Pada akhirnya, keberhasilan reformasi hukum sangat bergantung pada kepemimpinan politik yang memiliki integritas dan komitmen kuat terhadap supremasi hukum, bukan hanya retorika.
Kesimpulan
Fenomena Ketika Hukum Jadi Alat Politik adalah luka serius bagi demokrasi dan keadilan di Indonesia. Ini bukan hanya masalah teknis hukum, melainkan krisis moral dan institusional yang mengikis kepercayaan publik dan mengancam stabilitas negara. Perjuangan untuk menegakkan supremasi hukum adalah perjuangan yang tak pernah usai, membutuhkan kewaspadaan konstan, komitmen politik yang kuat, dan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat. Hanya dengan mengembalikan hukum pada fungsinya yang mulia sebagai penegak keadilan, Indonesia dapat mewujudkan cita-cita negara hukum yang demokratis dan berkeadilan bagi seluruh rakyatnya.
