Preman pasar

Preman Pasar: Mengurai Benang Kusut Kekuasaan Informal di Jantung Ekonomi Rakyat

Pasar tradisional. Sebuah episentrum hiruk pikuk kehidupan, tempat bertemunya berbagai lapisan masyarakat, aroma rempah berpadu dengan tawa penjual, dan transaksi ekonomi berlangsung tanpa henti. Namun, di balik keramaian yang tampak organik dan spontan, seringkali tersembunyi sebuah struktur kekuasaan informal yang kompleks dan seringkali ditakuti: preman pasar. Mereka bukan sekadar individu-individu yang kebetulan ada di sana; mereka adalah bagian integral dari ekosistem pasar, menjalankan peran yang ambivalen, antara ancaman dan fungsi yang tak terucapkan, membentuk dinamika yang rumit di jantung ekonomi rakyat.

Definisi dan Persepsi: Lebih dari Sekadar Ancaman Fisik

Secara umum, "preman" merujuk pada individu atau kelompok yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk mendapatkan keuntungan, menguasai wilayah, atau memaksakan kehendak. Namun, "preman pasar" memiliki kekhasan tersendiri. Mereka bukan selalu penjahat kelas kakap dengan catatan kriminal panjang; banyak di antara mereka adalah penduduk lokal yang memiliki koneksi kuat dengan lingkungan pasar, beberapa bahkan pernah menjadi pedagang kecil atau kuli angkut. Citra mereka di mata masyarakat sangat bervariasi: bagi sebagian pedagang, mereka adalah parasit yang memeras; bagi yang lain, mereka adalah "penjaga keamanan" informal yang bisa diandalkan dalam situasi darurat; dan bagi konsumen, mereka adalah bayangan samar yang menimbulkan rasa tidak nyaman.

Persepsi ini diperkuat oleh peran ganda yang mereka mainkan. Di satu sisi, mereka adalah sumber ketakutan, pemberi pungutan liar (pungli) yang tak terhindarkan. Di sisi lain, mereka terkadang berfungsi sebagai penengah sengketa, penyedia jasa keamanan alternatif (meskipun dengan biaya), atau bahkan fasilitator dalam urusan birokrasi pasar yang rumit. Fenomena preman pasar adalah cerminan dari kegagalan sistem formal dalam menyediakan keamanan, keadilan, dan tata kelola yang efektif di ruang publik, sehingga menciptakan celah bagi kekuatan informal untuk mengisi kekosongan tersebut.

Modus Operandi: Menganyam Jaringan Penguasaan

Operasi preman pasar jauh lebih terstruktur daripada sekadar kekerasan acak. Mereka memiliki modus operandi yang telah teruji dan berevolusi seiring waktu:

  1. Pungutan Liar (Pungli): Ini adalah sumber pendapatan utama. Bentuknya beragam, mulai dari "uang keamanan" harian atau mingguan yang dipungut dari setiap pedagang, "uang kebersihan," "uang bongkar muat," hingga biaya sewa lapak ilegal. Besaran pungli bervariasi tergantung ukuran lapak, jenis dagangan, dan lokasi strategis. Penolakan seringkali berujung pada ancaman, intimidasi, atau bahkan pengerusakan barang dagangan.

  2. Perlindungan (Proteksi): Ironisnya, uang yang dipungut seringkali dibenarkan sebagai biaya "perlindungan." Para preman mengklaim bahwa mereka menjaga keamanan pasar dari pencurian, penipuan, atau gangguan dari kelompok preman lain. Dalam beberapa kasus, mereka memang "melindungi" pedagang dari masalah, namun perlindungan ini bersifat semu, karena ancaman terbesar seringkali datang dari mereka sendiri.

  3. Penyelesaian Sengketa Informal: Ketika ada perselisihan antara pedagang, atau antara pedagang dan pembeli, preman pasar terkadang berperan sebagai "hakim." Mereka menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri, seringkali menguntungkan pihak yang memiliki koneksi atau membayar lebih. Meskipun cepat, keputusan ini tidak berdasarkan hukum dan seringkali berat sebelah.

  4. Pengaturan Lahan dan Lapak: Di pasar yang padat, mendapatkan lapak strategis adalah kunci keberhasilan. Preman pasar seringkali menguasai atau mengatur alokasi lapak, baik yang legal maupun ilegal. Mereka bisa mematok harga sewa yang tinggi, memindahkan pedagang yang tidak kooperatif, atau bahkan mengusir pedagang baru yang tidak "membayar setoran."

  5. Jasa Buruh dan Angkut: Beberapa kelompok preman juga menguasai jasa bongkar muat barang atau kuli angkut di pasar. Pedagang "diwajibkan" menggunakan jasa mereka dengan tarif yang telah ditentukan, bahkan jika ada opsi lain yang lebih murah atau efisien.

Kekuasaan preman pasar bersumber dari beberapa pilar: kekuatan fisik dan intimidasi, jaringan koneksi lokal yang kuat (termasuk dengan oknum aparat), penguasaan informasi, dan kemampuan mereka untuk mengisi kekosongan tata kelola yang tidak efektif. Mereka menciptakan sistem paralel yang, meskipun ilegal dan eksploitatif, seringkali terasa lebih "efisien" atau "realistis" bagi para pedagang yang putus asa di tengah birokrasi yang lamban dan korup.

Jaringan dan Hirarki: Struktur Tak Kasat Mata

Preman pasar bukanlah entitas tunggal. Mereka beroperasi dalam struktur yang bervariasi, dari individu tunggal yang berkuasa di area kecil hingga kelompok terorganisir dengan hierarki yang jelas. Sebuah kelompok preman pasar yang mapan biasanya memiliki:

  • Bos/Ketua: Pemimpin tertinggi yang mengendalikan operasi, menentukan kebijakan, dan bernegosiasi dengan pihak luar (misalnya, preman dari wilayah lain, atau oknum aparat). Mereka jarang terlihat di lapangan, namun memiliki pengaruh besar.
  • Centeng/Mandor: Orang kepercayaan bos yang bertanggung jawab mengawasi wilayah tertentu, menagih setoran, dan menegakkan aturan kelompok. Merekalah yang paling sering berinteraksi langsung dengan pedagang.
  • Anggota Lapangan: Individu-individu yang menjalankan tugas sehari-hari, seperti mengawasi keamanan, membantu bongkar muat, atau mengintimidasi. Mereka seringkali adalah pemuda pengangguran dari sekitar pasar yang mencari nafkah.

Jaringan ini tidak hanya internal, tetapi juga eksternal. Mereka memiliki hubungan yang kompleks dengan:

  • Pedagang: Hubungan patron-klien yang saling tergantung. Pedagang membenci mereka namun seringkali merasa tidak berdaya tanpa "perlindungan" mereka.
  • Masyarakat Lokal: Beberapa preman berasal dari komunitas sekitar dan memiliki ikatan sosial. Mereka bisa menjadi figur yang dihormati di lingkungan mereka sendiri, bahkan jika ditakuti di pasar.
  • Oknum Aparat Penegak Hukum/Pemerintah Daerah: Ini adalah aspek paling gelap. Terkadang, ada simbiosis mutualisme yang terjalin antara preman dan oknum aparat. Preman menyetor sebagian hasil pungli sebagai "uang koordinasi," sementara oknum aparat menutup mata atau bahkan melindungi aktivitas mereka. Hubungan ini membuat pemberantasan premanisme menjadi sangat sulit.
  • Kelompok Preman Lain: Terkadang terjadi perebutan wilayah kekuasaan yang bisa berujung pada konflik fisik, namun seringkali mereka juga memiliki "aturan main" tidak tertulis untuk menghindari perang terbuka yang merugikan semua pihak.

Dampak terhadap Ekosistem Pasar: Harga yang Harus Dibayar

Keberadaan preman pasar memiliki dampak yang signifikan dan seringkali merugikan seluruh ekosistem pasar:

  • Kenaikan Biaya Dagang: Pungli yang terus-menerus meningkatkan biaya operasional bagi pedagang. Biaya ini pada akhirnya dibebankan kepada konsumen dalam bentuk harga barang yang lebih tinggi.
  • Iklim Bisnis yang Tidak Sehat: Rasa takut dan ketidakpastian menghambat inovasi dan pertumbuhan bisnis. Pedagang enggan berinvestasi lebih besar karena keuntungan mereka tergerus pungli dan tidak ada jaminan keamanan hukum.
  • Penurunan Daya Saing: Pasar yang dikuasai preman cenderung kurang menarik bagi pedagang dan pembeli. Ini bisa membuat pasar tradisional kalah bersaing dengan pasar modern atau supermarket yang menawarkan lingkungan yang lebih aman dan transparan.
  • Erosi Kepercayaan Publik: Keberadaan preman merusak citra pasar tradisional secara keseluruhan, membuat masyarakat enggan berbelanja di sana dan meragukan efektivitas penegakan hukum.
  • Kerugian Negara: Pendapatan informal preman tidak masuk ke kas negara dalam bentuk pajak atau retribusi, sehingga merugikan potensi pembangunan daerah.

Namun, tidak dapat dipungkiri, dalam beberapa konteks yang sangat terdesentralisasi dan minim intervensi negara, premanisme pasar juga memiliki fungsi anomali. Misalnya, mereka dapat "mempertahankan" pedagang kecil dari penggusuran, menjaga ketertiban (versi mereka), atau menyediakan "keamanan" instan di area yang rawan kejahatan. Namun, fungsi-fungsi ini datang dengan harga yang sangat mahal, yaitu eksploitasi dan ketidakadilan.

Akar Masalah dan Tantangan Penanganan

Fenomena preman pasar adalah gejala dari masalah sosial-ekonomi yang lebih dalam, bukan sekadar tindakan kriminalitas individual. Akar masalahnya meliputi:

  1. Kemiskinan dan Pengangguran: Banyak preman adalah individu yang terpinggirkan secara ekonomi, melihat kegiatan ini sebagai satu-satunya jalan untuk bertahan hidup atau mendapatkan status.
  2. Lemahnya Penegakan Hukum dan Korupsi: Ketidakmampuan aparat dalam menindak tegas atau adanya kolusi membuat premanisme terus berkembang. Hukum yang tumpul ke atas namun tajam ke bawah menciptakan impunitas.
  3. Birokrasi yang Rumit dan Tidak Efisien: Proses perizinan atau penyelesaian masalah di pasar yang berbelit-belit dan mahal mendorong pedagang untuk mencari "jalan pintas" melalui preman.
  4. Ikatan Sosial dan Kekeluargaan: Beberapa preman memiliki ikatan kuat dengan komunitas lokal, yang membuat mereka sulit diusir atau ditolak.
  5. Kurangnya Tata Kelola Pasar yang Baik: Manajemen pasar yang tidak profesional atau tidak transparan membuka celah bagi preman untuk mengambil alih fungsi-fungsi tertentu.

Penanganan premanisme pasar adalah tantangan multidimensional. Pendekatan represif semata, seperti penangkapan besar-besaran, seringkali hanya bersifat sementara. Begitu tekanan berkurang, mereka akan muncul kembali dengan wajah atau modus yang baru. Solusi yang lebih berkelanjutan membutuhkan:

  • Penegakan Hukum yang Tegas dan Konsisten: Tanpa tebang pilih, termasuk menindak oknum aparat yang terlibat.
  • Perbaikan Tata Kelola Pasar: Menerapkan sistem manajemen yang transparan, efisien, dan melayani pedagang, termasuk sistem retribusi yang jelas dan pengamanan yang memadai.
  • Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat: Menciptakan lapangan kerja formal dan program pelatihan keterampilan bagi individu yang rentan terhadap premanisme.
  • Peningkatan Kesadaran dan Keberanian Pedagang: Mendorong pedagang untuk bersatu dan melaporkan praktik premanisme, serta memberikan perlindungan bagi mereka yang berani melapor.
  • Rehabilitasi Sosial: Bagi preman yang ingin bertaubat, perlu ada program rehabilitasi dan reintegrasi ke masyarakat.

Kesimpulan: Sebuah Cermin Kaca Pembesar

Preman pasar adalah anomali sekaligus cermin yang memperbesar masalah-masalah struktural dalam masyarakat: kesenjangan ekonomi, lemahnya supremasi hukum, dan tata kelola yang tidak efektif. Mereka bukan hanya sekadar "penjahat," melainkan produk dari sebuah sistem yang kompleks, di mana garis antara legal dan ilegal, formal dan informal, seringkali menjadi buram.

Mengurai benang kusut kekuasaan informal preman pasar berarti memahami bahwa masalah ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan represif. Dibutuhkan strategi komprehensif yang melibatkan penegakan hukum, perbaikan tata kelola, pemberdayaan ekonomi, dan perubahan pola pikir masyarakat. Hanya dengan mengatasi akar masalah dan membangun sistem yang lebih adil serta inklusif, pasar tradisional dapat benar-benar menjadi jantung ekonomi rakyat yang sehat, aman, dan berdaya saing, bebas dari bayang-bayang kekuasaan informal yang merugikan.

Exit mobile version