Berita  

Perkembangan kebijakan migrasi dan perlindungan pekerja migran

Mengukir Keadilan dalam Mobilitas Global: Transformasi Kebijakan Migrasi dan Penguatan Perlindungan Pekerja Migran

Pendahuluan: Mobilitas Global dan Paradoks Kerentanan

Migrasi adalah fenomena global purba yang terus berevolusi seiring zaman. Dalam era globalisasi dan konektivitas yang semakin intensif, mobilitas manusia, khususnya dalam konteks pencarian nafkah, telah menjadi salah satu pilar penting perekonomian dunia. Jutaan individu melintasi batas negara setiap tahunnya, mengisi kesenjangan pasar tenaga kerja, mengirimkan remitansi yang signifikan ke negara asal, dan berkontribusi pada keragaman budaya. Namun, di balik narasi kontribusi ekonomi ini, tersembunyi sebuah paradoks yang mendalam: pekerja migran, yang seringkali menjadi tulang punggung ekonomi baik di negara asal maupun negara tujuan, acap kali menjadi kelompok yang paling rentan terhadap eksploitasi, diskriminasi, dan pelanggaran hak asasi manusia.

Kerentanan ini bukan tanpa sebab. Seringkali, kebijakan migrasi di masa lalu lebih berorientasi pada kontrol perbatasan dan regulasi pasokan tenaga kerja daripada perlindungan hak-hak pekerja. Seiring waktu, kesadaran akan dimensi kemanusiaan migrasi mulai tumbuh, mendorong pergeseran paradigma dalam pembentukan kebijakan. Artikel ini akan menelusuri evolusi kebijakan migrasi, dari pendekatan yang berfokus pada kontrol menuju kerangka kerja yang lebih komprehensif dan berorientasi pada perlindungan, menguraikan tantangan yang masih ada, serta prospek masa depan dalam mengukir keadilan bagi pekerja migran di tengah mobilitas global yang tak terhindarkan.

Era Awal: Kontrol, Regulasi, dan Ekonomi Semata

Pada awalnya, kebijakan migrasi di banyak negara cenderung bersifat reaktif dan pragmatis, terutama didorong oleh kebutuhan pasar tenaga kerja. Negara-negara penerima melihat migran sebagai sumber daya ekonomis untuk mengisi pekerjaan yang tidak diminati oleh warga negaranya sendiri, sementara negara-negara pengirim melihat migrasi sebagai katup pengaman untuk mengurangi pengangguran dan sumber devisa melalui remitansi. Fokus utamanya adalah regulasi aliran masuk dan keluar, serta penyesuaian dengan kebutuhan ekonomi jangka pendek.

Pada era ini, kerangka hukum dan kelembagaan untuk perlindungan pekerja migran masih sangat minim atau bahkan tidak ada. Hubungan antara majikan dan pekerja migran seringkali tidak diatur secara memadai, membuka celah lebar bagi praktik-praktik eksploitatif seperti pemotongan gaji, penahanan paspor, jam kerja yang tidak manusiawi, dan kekerasan fisik maupun psikologis. Pekerja migran sering diperlakukan lebih sebagai "komoditas" daripada individu dengan hak asasi. Bilateralisme dalam perjanjian seringkali didominasi oleh kekuatan tawar-menawar negara penerima, menyebabkan klausul perlindungan yang lemah atau tidak efektif. Isu-isu seperti akses terhadap keadilan, jaminan sosial, atau hak untuk berserikat jarang sekali menjadi prioritas dalam perjanjian-perjanjian awal ini.

Titik Balik: Bangkitnya Kesadaran Hak Asasi Manusia

Dekade-dekade berikutnya menyaksikan peningkatan kesadaran global akan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami pekerja migran. Berbagai laporan dan studi kasus mulai mengungkap realitas pahit di balik migrasi, memicu seruan untuk pendekatan yang lebih humanis dan berlandaskan hak asasi. Titik balik penting dalam diskursus global adalah adopsi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (ICRMW) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1990. Meskipun tingkat ratifikasinya masih belum universal, konvensi ini menjadi tonggak penting yang menegaskan bahwa pekerja migran, terlepas dari status hukum mereka, memiliki hak asasi manusia yang melekat.

Selain ICRMW, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) juga memainkan peran krusial dengan mengadopsi sejumlah konvensi yang relevan, seperti Konvensi No. 97 tentang Pekerja Migran (Revisi 1949), Konvensi No. 143 tentang Migrasi dalam Kondisi Tidak Menyenangkan dan Promosi Kesempatan dan Perlakuan yang Sama (1975), Konvensi No. 181 tentang Agen Penempatan Tenaga Kerja Swasta (1997), dan yang sangat penting, Konvensi No. 189 tentang Pekerjaan yang Layak untuk Pekerja Rumah Tangga (2011). Konvensi 189, khususnya, menjadi game-changer karena secara spesifik menyoroti kerentanan unik pekerja rumah tangga migran, yang mayoritas adalah perempuan, dan menyerukan perlindungan yang setara dengan pekerja lain.

Perkembangan instrumen hukum internasional ini mendorong negara-negara, baik pengirim maupun penerima, untuk meninjau ulang kebijakan nasional mereka. Banyak negara mulai mengintegrasikan prinsip-prinsip hak asasi manusia ke dalam undang-undang migrasi mereka, mewajibkan perjanjian kerja yang jelas, menyediakan jalur pengaduan, dan bahkan mempertimbangkan program amnesti untuk pekerja migran tidak berdokumen. Namun, kesenjangan antara ratifikasi instrumen internasional dan implementasi efektif di tingkat nasional masih menjadi tantangan besar.

Menuju Tata Kelola Migrasi yang Komprehensif dan Berbasis Multi-Pihak

Dalam dua dekade terakhir, diskursus tentang migrasi telah bergeser dari sekadar "kontrol" atau "perlindungan" menjadi konsep yang lebih holistik: "tata kelola migrasi" (migration governance). Tata kelola migrasi mencakup pendekatan yang lebih luas dan terkoordinasi, melibatkan berbagai pemangku kepentingan (pemerintah, organisasi internasional, serikat pekerja, masyarakat sipil, sektor swasta) untuk mencapai migrasi yang "aman, teratur, dan bertanggung jawab" (safe, orderly, and regular migration).

Pendekatan komprehensif ini mencakup seluruh siklus migrasi, mulai dari fase pra-keberangkatan (pelatihan, informasi yang akurat, pencegahan penipuan), selama di negara tujuan (kondisi kerja yang layak, akses ke layanan kesehatan dan hukum, perlindungan dari kekerasan), hingga fase pasca-kembali (reintegrasi ekonomi dan sosial). Banyak negara pengirim, termasuk Indonesia, telah merumuskan undang-undang migrasi yang lebih progresif. Misalnya, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) menggantikan undang-undang sebelumnya, menekankan peran pemerintah dalam melindungi warganya dari hulu hingga hilir, termasuk dalam proses rekrutmen yang beretika, penempatan, hingga pemberdayaan dan reintegrasi saat kembali.

Pada tingkat regional, inisiatif seperti Proses Kolombo (Colombo Process) di Asia dan Konsensus ASEAN tentang Perlindungan dan Promosi Hak-hak Pekerja Migran (ASEAN Consensus on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers) menunjukkan upaya kolektif negara-negara untuk mengatasi isu migrasi secara terkoordinasi. Kerangka kerja ini berupaya membangun kerja sama bilateral dan multilateral, memfasilitasi pertukaran informasi, dan mengembangkan praktik terbaik dalam perlindungan pekerja migran.

Tantangan Kontemporer dan Isu Krusial

Meskipun ada kemajuan signifikan dalam kerangka kebijakan dan hukum, tantangan dalam melindungi pekerja migran masih sangat kompleks dan berlapis. Beberapa isu krusial yang terus menghantui adalah:

  1. Pekerja Migran Tidak Berdokumen dan di Sektor Informal: Jutaan pekerja migran masih bekerja tanpa dokumen resmi atau di sektor informal (seperti konstruksi, pertanian, atau pekerjaan rumah tangga) yang tidak diatur. Mereka adalah kelompok paling rentan terhadap eksploitasi karena takut dideportasi dan kurangnya akses terhadap keadilan.
  2. Dimensi Gender: Mayoritas pekerja migran di sektor rumah tangga adalah perempuan, yang menghadapi risiko ganda eksploitasi dan kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual, karena sifat terisolasi dari pekerjaan mereka.
  3. Rekrutmen Tidak Beretika: Praktik rekrutmen ilegal dan tidak beretika, termasuk pemungutan biaya tinggi dan penipuan, masih merajalela, menjebak pekerja migran dalam lingkaran utang bahkan sebelum mereka memulai pekerjaan.
  4. Diskriminasi dan Xenofobia: Di banyak negara tujuan, pekerja migran masih menghadapi diskriminasi, stereotip negatif, dan xenofobia, yang mempersulit integrasi sosial dan akses mereka terhadap layanan publik.
  5. Perubahan Iklim dan Migrasi: Perubahan iklim semakin menjadi pendorong migrasi paksa, menciptakan kategori migran baru yang membutuhkan perlindungan khusus, namun belum ada kerangka hukum internasional yang memadai untuk mereka.
  6. Dampak Pandemi COVID-19: Pandemi global mengungkap dan memperparah kerentanan pekerja migran, mulai dari kehilangan pekerjaan massal, kesulitan akses layanan kesehatan, hingga masalah repatriasi dan stigmatisasi.

Inovasi dan Prospek Masa Depan: Menuju Keadilan Sejati

Menghadapi tantangan-tantangan ini, inovasi kebijakan dan kolaborasi global menjadi semakin penting. Salah satu tonggak terbaru adalah adopsi Global Compact for Safe, Orderly and Regular Migration (GCM) pada tahun 2018. Meskipun tidak mengikat secara hukum, GCM menyediakan kerangka kerja non-obligasi yang komprehensif, terdiri dari 23 tujuan untuk mengelola migrasi secara holistik. Ini adalah upaya global pertama untuk menyatukan berbagai aspek migrasi dalam satu dokumen, menekankan perlindungan hak asasi manusia, integrasi sosial, dan kontribusi migran.

Prospek masa depan dalam perlindungan pekerja migran bergantung pada beberapa inisiatif kunci:

  1. Penguatan Tata Kelola Migrasi: Memperkuat kapasitas kelembagaan, koordinasi antar-lembaga, dan kerja sama lintas batas untuk memastikan migrasi yang aman dan teratur.
  2. Rekrutmen Beretika: Mendorong model "employer pays" (majikan membayar biaya rekrutmen) untuk menghilangkan beban utang dari pekerja migran, serta memberantas praktik agen ilegal.
  3. Portabilitas Jaminan Sosial: Memastikan pekerja migran dapat mengakses dan membawa hak jaminan sosial (pensiun, kesehatan) mereka lintas batas.
  4. Akses ke Keadilan: Memperkuat mekanisme pengaduan, bantuan hukum, dan penegakan hukum yang efektif bagi pekerja migran yang menjadi korban eksploitasi.
  5. Pengakuan Keterampilan: Mengembangkan mekanisme untuk pengakuan keterampilan dan kualifikasi pekerja migran lintas batas, memungkinkan mereka untuk bekerja sesuai kapasitas dan menghindari deskilling.
  6. Pemberdayaan Pekerja Migran: Meningkatkan literasi finansial, keterampilan digital, dan kesadaran hak-hak mereka, serta mendukung pembentukan organisasi pekerja migran.
  7. Pemanfaatan Teknologi: Menggunakan teknologi (aplikasi seluler, blockchain) untuk transparansi rekrutmen, pengiriman remitansi yang aman, dan penyediaan informasi.

Kesimpulan: Tanggung Jawab Bersama dan Imperatif Moral

Perjalanan kebijakan migrasi dan perlindungan pekerja migran adalah sebuah saga panjang yang bergerak dari era kontrol yang ketat menuju kesadaran akan hak asasi manusia dan tata kelola yang komprehensif. Meskipun telah banyak kemajuan yang dicapai, khususnya dalam perumusan instrumen hukum dan kerangka kerja internasional, tantangan implementasi di lapangan masih besar. Jutaan pekerja migran masih menghadapi risiko eksploitasi dan pelanggaran hak setiap hari.

Masa depan perlindungan pekerja migran membutuhkan komitmen politik yang kuat, kolaborasi multi-pihak yang berkelanjutan, dan inovasi yang adaptif. Ini bukan hanya masalah ekonomi atau regulasi, melainkan imperatif moral yang menguji kemanusiaan kita bersama. Dengan menjamin migrasi yang aman, teratur, dan bermartabat, kita tidak hanya melindungi hak-hak individu, tetapi juga membuka potensi penuh migrasi sebagai kekuatan pendorong pembangunan dan kesejahteraan global. Mengukir keadilan dalam mobilitas global adalah tanggung jawab kolektif yang harus terus diupayakan demi masa depan yang lebih adil dan manusiawi bagi semua.

Exit mobile version