Soeharto

Soeharto: Arsitek Orde Baru dan Jejak Tak Terhapuskan di Indonesia

Soeharto, sosok yang tak terpisahkan dari narasi sejarah modern Indonesia, memimpin negara kepulauan ini selama 32 tahun (1966-1998) dengan tangan besi namun juga diakui berhasil membawa stabilitas dan pembangunan ekonomi yang signifikan. Pemerintahannya, yang dikenal sebagai Orde Baru, adalah periode krusial yang membentuk fondasi Indonesia kontemporer, namun juga meninggalkan luka mendalam berupa pelanggaran hak asasi manusia, korupsi yang masif, dan praktik otoritarianisme. Memahami Soeharto berarti memahami kontradiksi dan kompleksitas sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan, sebuah era yang masih menjadi bahan perdebatan dan refleksi hingga kini.

Awal Mula dan Jalan Menuju Kekuasaan

Soeharto lahir di Kemusuk, Yogyakarta, pada 8 Juni 1921, dari keluarga petani sederhana. Karir militernya dimulai pada masa pendudukan Jepang, bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air), dan berlanjut setelah kemerdekaan, di mana ia terlibat dalam perjuangan revolusi fisik melawan Belanda. Kecakapannya dalam organisasi militer dan kemampuannya menjaga jarak dari intrik politik di Jakarta membuatnya naik pangkat secara bertahap, menjauh dari sorotan utama namun membangun jaringan yang kuat di Angkatan Darat.

Momen krusial yang melambungkan nama Soeharto ke panggung nasional adalah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S). Sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad), Soeharto mengambil alih kendali militer di Jakarta setelah pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat. Ia dengan cepat dan tegas menumpas gerakan tersebut, yang kemudian secara resmi dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Peristiwa ini menjadi titik balik. Di tengah kekosongan kekuasaan dan kekacauan politik, popularitas dan otoritas Soeharto melambung tinggi.

Dengan dukungan militer dan desakan masyarakat yang menuntut pembubaran PKI, Soeharto secara bertahap mengikis kekuasaan Presiden Sukarno. Puncaknya adalah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada 11 Maret 1966, yang memberikan Soeharto wewenang luas untuk memulihkan ketertiban. Meskipun Supersemar masih menjadi misteri sejarah, ia efektif mengalihkan kekuasaan eksekutif dari Sukarno ke Soeharto. Pada Maret 1967, Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden, dan pada Maret 1968, ia resmi dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia yang kedua. Dengan demikian, Orde Baru lahir, mengakhiri era Demokrasi Terpimpin Sukarno dan membuka babak baru dalam sejarah Indonesia.

Pilar-pilar Orde Baru: Pembangunan dan Stabilitas

Visi utama Orde Baru adalah menciptakan stabilitas politik dan memprioritaskan pembangunan ekonomi. Soeharto menyadari bahwa kekacauan ekonomi dan inflasi tinggi di akhir era Sukarno adalah ancaman serius bagi kelangsungan negara. Untuk itu, ia menunjuk sejumlah ekonom berpendidikan Barat, yang dikenal sebagai "Mafia Berkeley," untuk merumuskan kebijakan ekonomi.

Fokus utama adalah stabilisasi ekonomi, rehabilitasi infrastruktur, dan pembangunan jangka panjang. Pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan ekonomi yang pro-pasar, menarik investasi asing, dan memprioritaskan sektor pertanian melalui "Revolusi Hijau" untuk mencapai swasembada pangan. Hasilnya cukup mencengangkan: inflasi dapat dikendalikan, pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 7% per tahun selama dua dekade, dan tingkat kemiskinan menurun drastis. Infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan sarana komunikasi dibangun secara masif. Pendidikan dan kesehatan juga mendapat perhatian, dengan program-program seperti Inpres SD dan Keluarga Berencana yang berhasil meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Di bidang politik, stabilitas adalah kata kunci. Soeharto membangun sebuah sistem yang sangat terpusat dan mengandalkan Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), yang memungkinkan militer tidak hanya berperan dalam pertahanan keamanan tetapi juga dalam urusan sosial politik. Golongan Karya (Golkar) dijadikan kendaraan politik utama yang selalu memenangkan pemilihan umum, sementara partai-partai politik lainnya dikelompokkan menjadi dua partai (PPP dan PDI) yang pergerakannya sangat dibatasi. Kebebasan sipil dikekang, media diawasi ketat, dan organisasi massa harus berafiliasi dengan pemerintah atau dibubarkan jika dianggap mengancam stabilitas. Sistem ini berhasil menciptakan "stabilitas politik" yang panjang, yang diyakini Soeharto sebagai prasyarat mutlak bagi pembangunan.

Sisi Gelap Orde Baru: Otoritarianisme, Korupsi, dan Pelanggaran HAM

Namun, di balik narasi pembangunan dan stabilitas, Orde Baru memiliki sisi gelap yang tak terpisahkan. Untuk menjaga stabilitas yang diidealkan, Soeharto menerapkan rezim otoriter yang menekan segala bentuk perbedaan pendapat dan oposisi. Pembatasan kebebasan berekspresi, penangkapan tanpa proses hukum yang adil, dan pembredelan media adalah praktik umum. Ribuan orang ditahan atau diasingkan tanpa pengadilan pasca-G30S, dan mereka yang dicurigai berafiliasi dengan komunisme menghadapi diskriminasi seumur hidup.

Pelanggaran hak asasi manusia menjadi noda hitam pemerintahan Orde Baru. Kasus-kasus seperti pembunuhan misterius (Petrus), pembantaian di Timor Timur (khususnya peristiwa Santa Cruz), operasi militer di Aceh dan Papua, serta penumpasan gerakan mahasiswa dan buruh, menunjukkan betapa kejamnya rezim ini dalam mempertahankan kekuasaan. Suara-suara kritis dibungkam, dan rasa takut menjadi alat kontrol sosial yang efektif.

Selain itu, fenomena korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menggurita di bawah Orde Baru. Keluarga Soeharto dan kroni-kroninya membangun kerajaan bisnis raksasa yang menguasai berbagai sektor ekonomi, seringkali melalui monopoli dan fasilitas khusus dari negara. Praktik KKN ini tidak hanya merugikan keuangan negara dan menciptakan ketidakadilan ekonomi, tetapi juga merusak tatanan hukum dan etika pemerintahan. Kekayaan pribadi Soeharto dan keluarganya menjadi salah satu warisan paling kontroversial dari rezimnya, yang hingga kini masih menjadi tuntutan publik untuk diusut tuntas.

Kejatuhan dan Krisis 1998

Rezim Orde Baru yang tampak kokoh akhirnya runtuh oleh kombinasi faktor internal dan eksternal. Krisis Moneter Asia yang melanda pada pertengahan 1997 menjadi pemicu utama. Ekonomi Indonesia yang sebelumnya tumbuh pesat, tiba-tiba ambruk. Rupiah terdepresiasi tajam, banyak perusahaan bangkrut, dan jutaan orang kehilangan pekerjaan. Kepercayaan publik terhadap pemerintahan Soeharto merosot drastis.

Krisis ekonomi ini membuka keran kritik yang selama ini tertahan. Gerakan mahasiswa kembali bangkit, menuntut reformasi total, pengunduran diri Soeharto, dan penghapusan praktik KKN. Protes-protes meluas ke seluruh negeri, mencapai puncaknya dengan tragedi Trisakti pada Mei 1998 yang menewaskan empat mahasiswa, diikuti kerusuhan massal di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Tekanan domestik dan internasional tak tertahankan. Militer mulai menunjukkan tanda-tanda keretakan internal, dan beberapa menteri kabinet mulai mengundurkan diri.

Pada 21 Mei 1998, setelah 32 tahun berkuasa, Soeharto akhirnya mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden Republik Indonesia di Istana Merdeka. Momen ini menandai berakhirnya era Orde Baru dan dimulainya era Reformasi, sebuah periode transisi menuju demokrasi yang lebih terbuka dan akuntabel.

Warisan dan Refleksi

Soeharto meninggal dunia pada 27 Januari 2008, namun warisannya tetap menjadi bahan perdebatan yang sengit di Indonesia. Di satu sisi, ia diakui sebagai "Bapak Pembangunan" yang berhasil mengangkat Indonesia dari keterpurukan ekonomi dan membawa stabilitas politik yang diperlukan untuk kemajuan. Infrastruktur yang dibangun, program-program sosial yang digagas, dan fondasi ekonomi modern yang diletakkan pada masanya tak dapat dipungkiri memberikan kontribusi besar bagi negara.

Namun, di sisi lain, ia juga dikenang sebagai diktator yang represif, pelaku pelanggaran HAM berat, dan arsitek sistem KKN yang merusak sendi-sendi keadilan. Jutaan korban dari kekejaman rezimnya masih menuntut keadilan, dan dampak dari korupsi sistemik masih terasa hingga kini. Era Orde Baru adalah paradoks: sebuah periode pembangunan yang mengagumkan, namun dibangun di atas fondasi otoritarianisme dan penindasan.

Jejak Soeharto tak terhapuskan dalam lembaran sejarah Indonesia. Ia adalah figur sentral yang membentuk lanskap politik, ekonomi, dan sosial bangsa selama lebih dari tiga dekade. Memahami sosoknya bukan sekadar menghafal fakta sejarah, melainkan sebuah upaya untuk merefleksikan bagaimana kekuasaan absolut dapat membawa kemajuan sekaligus kehancuran, dan bagaimana sebuah bangsa berjuang untuk menemukan keseimbangan antara stabilitas, kebebasan, dan keadilan. Perdebatan tentang Soeharto akan terus berlanjut, mencerminkan pergulatan abadi Indonesia dengan masa lalunya yang kompleks.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *