Politik Pendidikan: Kurikulum sebagai Medan Kontestasi Ideologi dan Pembentukan Wacana Bangsa
Pendidikan seringkali dianggap sebagai domain netral, sebuah proses mulia yang semata-mata bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mempersiapkan generasi masa depan. Namun, di balik narasi idealis tersebut, pendidikan adalah arena politik yang dinamis, tempat berbagai kekuatan, kepentingan, dan ideologi berinteraksi, bernegosiasi, bahkan bertarung. Politik pendidikan bukanlah sekadar tentang alokasi anggaran atau kebijakan administratif; ia adalah jantung dari upaya pembentukan warga negara, identitas nasional, dan arah peradaban sebuah bangsa. Dalam konteks ini, kurikulum menjadi episentrum kontestasi, sebuah medan pertempuran di mana ideologi-ideologi yang berbeda saling berebut pengaruh untuk menentukan apa yang dianggap "pengetahuan yang berharga" dan bagaimana pengetahuan itu harus diajarkan.
Pendidikan: Sebuah Proyek Politik yang Tak Terelakkan
Sejak awal berdirinya negara-bangsa modern, pendidikan telah diakui sebagai instrumen vital dalam proyek politik. Negara menggunakan pendidikan untuk membangun kesadaran kolektif, menanamkan nilai-nilai kebangsaan, menciptakan kohesi sosial, dan menyiapkan sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, siapa yang mengontrol sistem pendidikan, apa yang diajarkan, dan bagaimana cara mengajarkannya, adalah pertanyaan-pertanyaan fundamental yang memiliki implikasi politik yang mendalam.
Politik pendidikan mencakup spektrum yang luas, mulai dari perumusan tujuan pendidikan nasional, struktur birokrasi pendidikan, pendanaan, hingga pemilihan metode pengajaran dan materi ajar. Setiap keputusan dalam ranah ini tidak pernah bebas nilai. Ia selalu mencerminkan preferensi, prioritas, dan, yang terpenting, ideologi pihak yang berkuasa atau kelompok-kelompok dominan yang memiliki pengaruh. Ideologi, dalam pengertian ini, adalah sistem kepercayaan, nilai, dan pandangan dunia yang membentuk cara individu atau kelompok memahami masyarakat dan membimbing tindakan mereka. Dalam pendidikan, ideologi termanifestasi dalam visi tentang "manusia ideal" yang ingin dibentuk, "masyarakat ideal" yang ingin diwujudkan, dan "pengetahuan ideal" yang harus dikuasai.
Kurikulum: Manifestasi Nyata Kontestasi Ideologi
Jika politik pendidikan adalah kerangka besarnya, maka kurikulum adalah wujud konkret dari politik tersebut. Kurikulum bukan hanya daftar mata pelajaran atau silabus; ia adalah cetak biru yang komprehensif tentang pengalaman belajar yang direncanakan dan diimplementasikan di sekolah. Di dalamnya terkandung asumsi tentang sifat pengetahuan, peran guru dan siswa, serta tujuan akhir dari pendidikan itu sendiri. Karena itu, setiap perubahan, penambahan, atau penghapusan materi dalam kurikulum selalu menjadi objek perdebatan sengit.
Kontestasi kurikulum terjadi karena berbagai aktor dengan ideologi yang berbeda melihat kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan mereka. Misalnya:
-
Ideologi Nasionalisme: Kurikulum seringkali menjadi alat utama untuk menanamkan identitas nasional. Mata pelajaran sejarah, bahasa, dan pendidikan kewarganegaraan dirancang untuk membangun narasi kolektif, mengagungkan pahlawan nasional, menyoroti pencapaian bangsa, dan mempromosikan persatuan. Namun, narasi sejarah itu sendiri bisa menjadi arena kontestasi, di mana kelompok-kelompok minoritas atau pandangan alternatif berjuang untuk diakui dan dimasukkan.
-
Ideologi Keagamaan: Di banyak negara, termasuk Indonesia, kelompok-kelompok agama memiliki kepentingan besar dalam kurikulum, terutama dalam mata pelajaran pendidikan agama dan moral. Mereka berjuang untuk memastikan bahwa nilai-nilai dan doktrin agama mereka diajarkan secara benar dan mendalam, serta mempengaruhi pembentukan karakter siswa sesuai dengan ajaran agama. Kontestasi dapat muncul ketika ada perbedaan pandangan antaragama atau antara pandangan agama dan sekuler.
-
Ideologi Ekonomi (Neoliberalisme): Di era globalisasi, ideologi neoliberalisme seringkali mempengaruhi kurikulum dengan menekankan pada keterampilan yang relevan dengan pasar kerja global. Ada dorongan kuat untuk fokus pada STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics), literasi digital, dan keterampilan abad ke-21 seperti kolaborasi dan pemecahan masalah. Kurikulum cenderung diorientasikan pada efisiensi, akuntabilitas melalui ujian standar, dan persiapan siswa untuk menjadi tenaga kerja yang kompetitif. Kritik terhadap pandangan ini adalah bahwa ia mengabaikan pendidikan humaniora, seni, dan pengembangan kritis yang lebih luas.
-
Ideologi Konservatisme vs. Progresivisme: Ideologi konservatif cenderung mempertahankan kurikulum tradisional yang berfokus pada pengetahuan kanonik, disiplin, dan transmisi nilai-nilai yang sudah mapan. Mereka mungkin khawatir bahwa kurikulum yang terlalu "modern" atau "liberal" akan mengikis moralitas dan tradisi. Sebaliknya, ideologi progresif menekankan pada pembelajaran berpusat siswa, berpikir kritis, pemecahan masalah dunia nyata, dan inklusi berbagai perspektif, termasuk isu-isu sosial keadilan, lingkungan, dan multikulturalisme.
-
Ideologi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia: Kelompok masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis seringkali berjuang untuk memasukkan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan lingkungan ke dalam kurikulum. Mereka melihat pendidikan sebagai alat untuk memberdayakan individu, mendorong partisipasi warga negara yang aktif, dan menciptakan masyarakat yang lebih adil dan berkelanjutan.
Aktor dan Dinamika Kontestasi
Berbagai aktor terlibat dalam kontestasi kurikulum ini, masing-masing membawa agenda dan ideologi mereka sendiri:
- Pemerintah (Kementerian Pendidikan): Sebagai pemegang otoritas tertinggi, pemerintah seringkali menjadi penentu utama arah kurikulum. Kebijakan kurikulum seringkali mencerminkan ideologi partai yang berkuasa atau visi pembangunan yang dianut pemerintah.
- Akademisi dan Pakar Pendidikan: Mereka menyediakan landasan teoretis dan hasil penelitian untuk pengembangan kurikulum. Namun, pandangan mereka pun bisa beragam, mencerminkan mazhab pemikiran yang berbeda (misalnya, konstruktivisme, behaviorisme, teori kritis).
- Kelompok Agama dan Organisasi Kemasyarakatan: Mereka melobi untuk memastikan nilai-nilai dan perspektif mereka terwakili dalam kurikulum, terutama dalam pendidikan moral dan karakter.
- Industri dan Dunia Usaha: Mereka memberikan masukan tentang keterampilan yang dibutuhkan pasar kerja, seringkali mendorong kurikulum yang lebih berorientasi vokasi atau STEM.
- Orang Tua dan Komunitas: Mereka memiliki kepentingan dalam kualitas pendidikan anak-anak mereka dan seringkali menyuarakan kekhawatiran atau aspirasi mereka terkait materi ajar dan metode pembelajaran.
- Guru: Sebagai pelaksana kurikulum di garis depan, guru memiliki peran krusial. Mereka dapat menjadi agen perubahan atau sebaliknya, resisten terhadap perubahan kurikulum yang tidak sesuai dengan keyakinan atau praktik mereka. Mereka juga seringkali menjadi korban dari perubahan kurikulum yang terlalu sering dan tidak disertai pelatihan yang memadai.
Dinamika kontestasi ini bisa sangat kompleks. Perubahan kurikulum seringkali merupakan hasil dari kompromi politik, tawar-menawar di antara berbagai kepentingan, dan kadang-kadang, dominasi satu kelompok ideologi atas yang lain. Setiap kali sebuah kurikulum baru diluncurkan, ia selalu disertai dengan narasi pembenaran yang kuat, yang mencoba menampilkan diri sebagai yang paling relevan, progresif, atau sesuai dengan kebutuhan zaman.
Dampak dan Implikasi Kontestasi Kurikulum
Kontestasi kurikulum memiliki dampak yang mendalam bagi sistem pendidikan dan masyarakat secara keseluruhan:
- Inkonsistensi dan Ketidakpastian: Perubahan kurikulum yang terlalu sering atau radikal dapat menyebabkan kebingungan di kalangan guru dan siswa, serta ketidakpastian dalam sistem pendidikan. Hal ini dapat menghambat fokus pada peningkatan kualitas pembelajaran yang berkelanjutan.
- Polarisasi Ideologis: Kurikulum bisa menjadi titik polarisasi di mana kelompok-kelompok ideologis saling berhadapan, yang dapat mengganggu konsensus nasional tentang tujuan pendidikan.
- Pembentukan Wacana Bangsa: Kurikulum secara fundamental membentuk cara siswa memahami dunia, sejarah, dan tempat mereka di dalamnya. Kontestasi kurikulum adalah perjuangan untuk mengontrol narasi ini, untuk menentukan "kebenaran" yang akan diajarkan dan nilai-nilai yang akan ditanamkan, yang pada akhirnya membentuk wacana bangsa dan identitas kolektif.
- Kualitas Pembelajaran: Jika kontestasi kurikulum terlalu didominasi oleh kepentingan politik sempit, tanpa didasari oleh riset pedagogis yang kuat dan kebutuhan nyata siswa, maka kualitas pembelajaran dapat terancam.
- Inklusi dan Eksklusi: Kurikulum dapat menjadi alat inklusi, yang mengakui keberagaman budaya, sejarah, dan pandangan dunia. Namun, ia juga bisa menjadi alat eksklusi, yang marginalisasi kelompok-kelompok tertentu atau mengabaikan perspektif yang berbeda.
Menuju Kurikulum yang Inklusif dan Berkesinambungan
Mengingat sifat politik pendidikan yang tak terhindarkan dan kontestasi kurikulum yang terus-menerus, tantangannya adalah bagaimana menciptakan kurikulum yang dapat menyeimbangkan berbagai tuntutan ideologis sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip pedagogis yang baik dan kebutuhan siswa. Beberapa langkah dapat dipertimbangkan:
- Dialog dan Musyawarah Inklusif: Proses pengembangan kurikulum harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan secara transparan dan partisipatif, memfasilitasi dialog konstruktif antarideologi.
- Berbasis Bukti dan Riset: Keputusan kurikulum harus didasarkan pada riset pendidikan yang kuat tentang apa yang paling efektif dalam mempromosikan pembelajaran, bukan semata-mata pada preferensi ideologis.
- Fokus pada Keterampilan Abad ke-21: Kurikulum harus memprioritaskan pengembangan keterampilan berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, dan komunikasi, yang memungkinkan siswa untuk menavigasi dunia yang kompleks dan berubah, daripada sekadar menghafal fakta.
- Fleksibilitas dan Adaptabilitas: Kurikulum harus cukup fleksibel untuk memungkinkan adaptasi lokal dan respons terhadap isu-isu kontemporer, sambil mempertahankan kerangka inti nasional.
- Pengakuan Keberagaman: Kurikulum harus merefleksikan dan merayakan keberagaman bangsa, memastikan bahwa sejarah, budaya, dan perspektif semua kelompok terwakili secara adil.
- Pendidikan Karakter yang Komprehensif: Pengembangan karakter harus melampaui doktrin sempit dan fokus pada nilai-nilai universal seperti empati, integritas, keadilan, dan tanggung jawab sosial.
Kesimpulan
Politik pendidikan, dengan kontestasi kurikulum sebagai manifestasi utamanya, adalah cerminan dari pergulatan ideologis sebuah bangsa dalam mendefinisikan dirinya dan merencanakan masa depannya. Kurikulum bukanlah sekadar perangkat teknis, melainkan dokumen politik dan ideologis yang hidup, yang terus-menerus diperdebatkan, direvisi, dan diinterpretasikan. Memahami dinamika ini sangat penting untuk memastikan bahwa pendidikan benar-benar melayani kepentingan terbaik semua warga negara, bukan hanya segelintir kelompok yang dominan. Perjuangan untuk kurikulum yang adil, relevan, dan memberdayakan adalah perjuangan untuk jiwa sebuah bangsa, sebuah upaya berkelanjutan untuk membentuk wacana yang inklusif, kritis, dan berkesinambungan bagi generasi yang akan datang.












