Politik Agraria: Fondasi Keadilan, Pembangunan Berkelanjutan, dan Tantangan Indonesia
Politik agraria merupakan salah satu pilar krusial dalam pembangunan sebuah bangsa, merefleksikan bagaimana suatu negara mengelola, mendistribusikan, dan memanfaatkan sumber daya agraria demi kesejahteraan rakyatnya. Lebih dari sekadar persoalan tanah, politik agraria mencakup kompleksitas hubungan kekuasaan, keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan arah ekonomi suatu negara. Di Indonesia, sebuah negara kepulauan yang kaya akan sumber daya alam, politik agraria telah menjadi arena pertarungan kepentingan yang sengit, sekaligus cerminan perjalanan sejarah, ideologi, dan dinamika sosial-politik yang tak pernah usai.
I. Memahami Politik Agraria: Dimensi dan Relevansinya
Secara sederhana, politik agraria dapat didefinisikan sebagai seperangkat kebijakan, hukum, institusi, dan praktik yang mengatur hubungan antara manusia dengan sumber daya agraria (tanah, air, hutan, mineral, sumber daya pesisir dan laut) dalam konteks kekuasaan dan distribusi. Ini bukan hanya tentang kepemilikan atau penggunaan lahan, tetapi juga tentang akses, kontrol, dan manfaat dari sumber daya tersebut, serta bagaimana keputusan-keputusan terkait dibuat dan diimplementasikan.
Relevansi politik agraria sangat mendalam karena menyentuh berbagai dimensi kehidupan:
- Dimensi Ekonomi: Sumber daya agraria adalah basis produksi pangan, bahan baku industri, energi, dan sumber mata pencarian bagi jutaan petani, nelayan, dan masyarakat adat. Kebijakan agraria menentukan struktur ekonomi, distribusi kekayaan, dan potensi pertumbuhan.
- Dimensi Sosial: Penguasaan dan akses terhadap sumber daya agraria sangat menentukan tingkat kesejahteraan, keadilan sosial, dan potensi konflik. Ketimpangan agraria seringkali menjadi akar kemiskinan, penggusuran, dan pelanggaran hak asasi manusia.
- Dimensi Lingkungan: Pengelolaan agraria yang baik adalah kunci keberlanjutan ekosistem. Politik agraria yang abai terhadap lingkungan dapat memicu deforestasi, degradasi lahan, pencemaran air, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
- Dimensi Budaya: Bagi banyak komunitas, terutama masyarakat adat, tanah dan sumber daya agraria bukan hanya aset ekonomi, tetapi juga bagian integral dari identitas, spiritualitas, dan warisan budaya mereka.
- Dimensi Hukum dan Kelembagaan: Politik agraria diwujudkan melalui kerangka hukum (undang-undang, peraturan), institusi (kementerian, badan pertanahan), dan proses administrasi yang mengatur hak-hak agraria.
II. Jejak Sejarah Politik Agraria di Indonesia: Antara Harapan dan Realita
Sejarah politik agraria Indonesia adalah kisah panjang tentang perlawanan terhadap dominasi dan perjuangan mewujudkan keadilan.
- Era Kolonial: Penjajahan Belanda memperkenalkan sistem agraria dualistik yang eksploitatif. Hukum agraria Barat (Domein Verklaring) digunakan untuk mengklaim tanah sebagai milik negara dan memfasilitasi perkebunan besar, sementara hak-hak agraria masyarakat pribumi (hak ulayat) diabaikan atau disubordinasi. Ini menciptakan ketimpangan struktural yang mendalam.
- Awal Kemerdekaan dan UUPA 1960: Kemerdekaan membawa semangat reformasi. Puncaknya adalah lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960. UUPA menjadi landasan hukum agraria nasional yang progresif, berlandaskan prinsip hak menguasai negara, fungsi sosial tanah, dan pengakuan hak ulayat. UUPA bertujuan untuk menghapus dualisme hukum agraria, mengatasi ketimpangan, dan melaksanakan reforma agraria sejati demi keadilan sosial.
- Orde Baru: Pembangunan dan Pengabaian: Masa Orde Baru (1966-1998) melihat pergeseran drastis. Orientasi pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan ekonomi dan investasi besar (perkebunan, kehutanan, pertambangan) seringkali mengabaikan prinsip-prinsip UUPA. Hak-hak masyarakat lokal dan adat terpinggirkan demi kepentingan korporasi dan proyek pemerintah. Ini memicu lonjakan konflik agraria dan penggusuran massal. Konsep hak menguasai negara ditafsirkan secara sempit sebagai hak kepemilikan negara, yang kemudian digunakan untuk melegitimasi pengambilalihan tanah.
- Era Reformasi: Janji yang Belum Terpenuhi: Pasca-Reformasi, tuntutan reforma agraria kembali menguat. Lahirlah berbagai kebijakan dan program, seperti Program Nasional Agraria (PRONA) dan kemudian Reforma Agraria melalui Perpres No. 86 Tahun 2018. Namun, implementasinya masih menghadapi tantangan besar. Konflik agraria terus terjadi, ketimpangan penguasaan lahan masih merajalela, dan pengakuan hak masyarakat adat berjalan lambat.
III. Isu-Isu Krusial dalam Politik Agraria Kontemporer Indonesia
Saat ini, politik agraria di Indonesia dihadapkan pada sejumlah isu kompleks dan mendesak:
- Konflik Agraria yang Masif: Ini adalah salah satu masalah paling menonjol. Konflik terjadi antara masyarakat dengan korporasi (perkebunan sawit, tambang, HTI), dengan pemerintah (proyek infrastruktur, kawasan konservasi), bahkan antar-masyarakat. Akar konflik meliputi tumpang tindih izin, penguasaan lahan yang tidak sah, pengabaian hak-hak tradisional, dan ketidakjelasan batas wilayah. Konflik ini seringkali berujung pada kekerasan, kriminalisasi petani, dan pelanggaran HAM.
- Ketimpangan Penguasaan dan Pemilikan Tanah: Data menunjukkan bahwa penguasaan lahan masih sangat terkonsentrasi pada segelintir korporasi besar dan individu, sementara jutaan petani gurem dan tanpa tanah hidup dalam kemiskinan. Ketimpangan ini menghambat produktivitas pertanian, membatasi akses ke modal, dan memperburuk kesenjangan sosial-ekonomi.
- Alih Fungsi Lahan Pertanian: Laju konversi lahan pertanian subur menjadi kawasan industri, perumahan, atau infrastruktur sangat tinggi. Ini mengancam ketahanan pangan nasional, menghilangkan mata pencarian petani, dan memperparah dampak perubahan iklim.
- Pengakuan Hak Masyarakat Adat dan Wilayah Adat: Meskipun UUPA 1960 mengakui hak ulayat, implementasinya tersendat selama puluhan tahun. Masyarakat adat terus berjuang untuk pengakuan hukum atas wilayah adat mereka yang seringkali tumpang tindih dengan konsesi perusahaan atau kawasan hutan negara. Ketiadaan pengakuan ini membuat mereka rentan terhadap perampasan tanah.
- Degradasi Lingkungan: Eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkontrol, seperti deforestasi untuk perkebunan sawit atau pertambangan, menyebabkan kerusakan lingkungan parah: banjir, tanah longsor, kekeringan, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Politik agraria yang tidak berpihak pada keberlanjutan memperburuk krisis ekologi.
- Peran Investor dan Korporasi: Kebijakan yang terlalu berpihak pada investasi skala besar tanpa kontrol yang memadai seringkali mengorbankan hak-hak masyarakat lokal. Proses perizinan yang koruptif dan tidak transparan juga memperparah masalah ini.
- Harmonisasi Regulasi dan Kelembagaan: Terdapat banyak undang-undang dan peraturan sektoral (kehutanan, pertambangan, perkebunan) yang seringkali tumpang tindih dan tidak selaras dengan prinsip-prinsip agraria yang berkeadilan. Koordinasi antar-lembaga pemerintah juga masih lemah.
IV. Aktor dan Dinamika Kekuatan dalam Politik Agraria
Politik agraria adalah arena interaksi berbagai aktor dengan kepentingan yang berbeda:
- Pemerintah: Bertindak sebagai pembuat kebijakan, regulator, dan pelaksana. Namun, kepentingan di dalam pemerintah sendiri bisa beragam (misalnya, Kementerian ATR/BPN, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral).
- Sektor Swasta/Korporasi: Memiliki kekuatan ekonomi dan lobi yang besar, seringkali menjadi motor utama ekspansi lahan dan ekstraksi sumber daya.
- Masyarakat Sipil: Terdiri dari organisasi petani, masyarakat adat, nelayan, LSM lingkungan, dan lembaga bantuan hukum. Mereka menjadi garda terdepan dalam perjuangan hak-hak agraria dan advokasi kebijakan yang berkeadilan.
- Akademisi dan Peneliti: Berperan dalam menyediakan data, analisis, dan rekomendasi kebijakan berbasis bukti.
- Donor Internasional dan Lembaga Multilateral: Dapat mempengaruhi arah kebijakan melalui bantuan teknis, pendanaan, atau tekanan moral.
Dinamika kekuasaan ini menunjukkan bahwa perubahan dalam politik agraria memerlukan lebih dari sekadar kebijakan yang baik; ia membutuhkan kemauan politik yang kuat, partisipasi publik yang luas, dan penegakan hukum yang konsisten.
V. Menuju Politik Agraria yang Berkeadilan dan Berkelanjutan
Mewujudkan politik agraria yang berkeadilan dan berkelanjutan di Indonesia adalah tugas maha berat, namun esensial. Beberapa langkah strategis yang perlu didorong meliputi:
- Reforma Agraria Sejati: Bukan sekadar bagi-bagi sertifikat, tetapi mencakup redistribusi tanah yang efektif (land reform), legalisasi aset, pengakuan hak-hak tradisional, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat penerima. Ini juga berarti menyelesaikan konflik agraria secara adil dan komprehensif.
- Penguatan Kerangka Hukum: Memastikan implementasi penuh UUPA 1960 dan peraturan turunannya, serta harmonisasi undang-undang sektoral agar sejalan dengan prinsip keadilan agraria dan keberlanjutan. Perlu juga percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat.
- Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Komunitas: Mendorong model pengelolaan hutan, air, dan lahan yang melibatkan dan memberdayakan masyarakat lokal, mengakui pengetahuan tradisional, dan menjamin akses yang adil.
- Pertanian Berkelanjutan dan Kedaulatan Pangan: Mengembangkan pertanian yang ramah lingkungan, mendukung petani kecil, diversifikasi pangan, dan mengurangi ketergantungan pada impor, demi mencapai kedaulatan pangan nasional.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Meningkatkan transparansi dalam proses perizinan, pengelolaan data agraria, dan penyelesaian sengketa. Memperkuat mekanisme pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran agraria.
- Pendidikan dan Kesadaran Publik: Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang hak-hak agraria mereka dan pentingnya pengelolaan sumber daya yang bertanggung jawab.
VI. Tantangan dan Harapan
Tantangan terbesar dalam mewujudkan politik agraria yang berkeadilan adalah kuatnya vested interest dari berbagai pihak yang diuntungkan oleh status quo, lemahnya penegakan hukum, serta kapasitas kelembagaan yang belum optimal. Isu agraria juga seringkali menjadi komoditas politik yang dimanfaatkan untuk kepentingan sesaat.
Namun, harapan selalu ada. Semakin meningkatnya kesadaran publik, konsolidasi gerakan masyarakat sipil, serta dukungan dari sebagian elemen pemerintah yang progresif, menunjukkan bahwa perjuangan untuk keadilan agraria terus bergulir. Politik agraria bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah proses berkelanjutan yang membutuhkan komitmen jangka panjang, kolaborasi lintas sektor, dan partisipasi aktif dari seluruh elemen bangsa. Dengan fondasi politik agraria yang kuat, adil, dan berkelanjutan, Indonesia dapat membangun masa depan yang lebih sejahtera, damai, dan lestari bagi seluruh rakyatnya.












