Mengurai Hubungan antara Politik dan Kebebasan Pers di Indonesia

Mengurai Hubungan antara Politik dan Kebebasan Pers di Indonesia

Dalam setiap lanskap demokrasi, pers bebas seringkali disebut sebagai pilar keempat, sebuah mata dan telinga masyarakat yang bertugas mengawasi kekuasaan, menyuarakan kebenaran, dan menyediakan informasi yang krusial bagi publik. Namun, hubungan antara politik dan kebebasan pers tidak pernah sederhana. Di Indonesia, dinamika ini telah melalui pasang surut yang dramatis, dari cengkeraman otoriter hingga euforia reformasi, dan kini menghadapi tantangan baru di era digital. Mengurai hubungan kompleks ini berarti menyelami sejarah, menganalisis struktur kekuasaan, dan memahami bagaimana setiap tarikan dan dorongan membentuk wajah jurnalisme di Nusantara.

Era Pengekangan: Ketika Pers Menjadi Corong Kekuasaan (Orde Lama & Orde Baru)

Sejarah pers Indonesia, khususnya sebelum era Reformasi, adalah kisah perjuangan tak kenal lelah melawan intervensi politik. Di bawah rezim otoriter, pers tidak dilihat sebagai pengawas, melainkan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan.

Pada masa Orde Lama di bawah Presiden Soekarno, terutama pasca-Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandai era Demokrasi Terpimpin, kebebasan pers mulai dibatasi secara sistematis. Media massa diharapkan menjadi "alat revolusi," menyebarkan ideologi dan mendukung kebijakan pemerintah. Surat Izin Terbit (SIT) menjadi instrumen kontrol, dan pembredelan media yang dianggap kritis atau "anti-revolusi" sering terjadi. Konfrontasi dengan Malaysia dan isu-isu domestik seringkali memicu pengekangan terhadap jurnalis yang mencoba memberitakan fakta yang berbeda dari narasi resmi.

Namun, puncak pengekangan pers terjadi di era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Dengan dalih stabilitas dan pembangunan, rezim ini secara sistematis membungkam suara-suara kritis. Undang-Undang Pokok Pers No. 11 Tahun 1966 yang direvisi menjadi UU No. 21 Tahun 1982, serta Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), menjadi senjata ampuh untuk mengontrol. SIUPP bisa dicabut sewaktu-waktu tanpa alasan jelas, yang berakibat pada pembredelan media. Contoh paling terkenal adalah pembredelan majalah Tempo, Detik, dan Editor pada tahun 1994, setelah mereka memberitakan kritik terhadap pembelian kapal bekas Jerman Timur oleh BJ Habibie.

Wartawan hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Ancaman penjara, intimidasi fisik, hingga pemecatan adalah risiko nyata bagi mereka yang berani meliput isu-isu sensitif seperti korupsi elite, pelanggaran HAM, atau oposisi politik. Self-censorship menjadi praktik lumrah, di mana redaksi dan jurnalis memilih untuk tidak meliput atau menyeleksi informasi demi menghindari risiko penutupan. Dalam kondisi ini, pers lebih berfungsi sebagai "corong" pemerintah daripada "pengawas," menyajikan informasi yang disaring dan sesuai dengan agenda kekuasaan. Meskipun demikian, semangat jurnalisme investigatif dan kritik tetap berdenyut, seringkali melalui publikasi bawah tanah atau narasi yang disamarkan.

Reformasi 1998: Gerbang Kebebasan yang Terbuka Lebar

Kejatuhan rezim Orde Baru pada tahun 1998 membuka keran kebebasan yang telah lama terkunci. Gelombang reformasi membawa serta semangat demokratisasi yang mencakup kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Salah satu capaian monumental adalah lahirnya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang ini secara fundamental mengubah lanskap media di Indonesia.

UU Pers 1999 mencabut SIUPP sebagai alat kontrol pemerintah, menghapus delik pers yang memenjarakan jurnalis, dan memberikan perlindungan hukum yang kuat bagi wartawan dalam menjalankan tugasnya. Ia juga mengakui hak tolak wartawan untuk tidak mengungkapkan sumber informasi, hak jawab bagi pihak yang merasa dirugikan, dan hak koreksi. Pembentukan Dewan Pers sebagai lembaga independen yang berfungsi menjaga profesionalisme dan etika jurnalistik menjadi tonggak penting lainnya.

Dampak dari reformasi ini sangat terasa. Jumlah media massa meledak, dari yang sebelumnya hanya segelintir dan dikontrol ketat, menjadi ribuan media cetak, elektronik, dan kemudian media online. Munculnya berbagai media baru, baik yang independen maupun yang berafiliasi dengan kelompok kepentingan, menciptakan iklim kompetisi yang sehat sekaligus menantang. Pers menjadi sangat vokal dalam mengawal transisi demokrasi, mengungkap kasus-kasus korupsi yang sebelumnya terbungkam, dan menyuarakan aspirasi masyarakat sipil. Jurnalisme investigatif kembali menemukan ruangnya, dan berita-berita kritis terhadap pemerintah menjadi pemandangan sehari-hari. Ini adalah era keemasan bagi kebebasan pers di Indonesia, di mana idealisme dan optimisme mendominasi.

Tantangan Pasca-Reformasi: Ancaman Baru dan Kontemporer

Namun, kebebasan yang baru didapat ini tidak datang tanpa tantangan. Seiring berjalannya waktu, hubungan antara politik dan kebebasan pers kembali menunjukkan kompleksitasnya, dengan munculnya bentuk-bentuk intervensi baru yang lebih halus namun tak kalah berbahaya.

1. Oligarki Media dan Kepentingan Politik:
Salah satu ancaman terbesar adalah fenomena oligarki media. Banyak konglomerat dan politisi yang mengakuisisi atau mendirikan media massa. Ketika pemilik media memiliki afiliasi politik yang kuat atau kepentingan bisnis yang terkait dengan kekuasaan, independensi editorial media tersebut dapat terancam. Garis redaksi bisa diarahkan untuk mendukung atau menyerang pihak-pihak tertentu, tergantung pada kepentingan pemilik. Hal ini menciptakan bias dalam pemberitaan, mengikis kepercayaan publik, dan mengubah media dari pilar demokrasi menjadi alat propaganda politik atau bisnis.

2. Tekanan Ekonomi dan Bisnis Media:
Model bisnis media yang semakin bergantung pada iklan dan rating/klik juga menjadi tantangan. Tekanan untuk mencapai profit atau popularitas dapat mengorbankan kualitas jurnalisme. Berita sensasional atau yang memicu emosi seringkali lebih diutamakan daripada investigasi mendalam yang membutuhkan waktu dan biaya besar. Selain itu, kesejahteraan wartawan yang masih rendah di beberapa media membuat mereka rentan terhadap suap atau intervensi dari pihak luar.

3. Kriminalisasi Wartawan dan Penggunaan UU ITE:
Meskipun UU Pers 1999 memberikan perlindungan, wartawan masih sering dijerat dengan undang-undang lain, terutama Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal-pasal karet dalam UU ITE, khususnya tentang pencemaran nama baik, sering digunakan oleh pejabat publik atau pihak berkuasa untuk membungkam kritik. Kasus-kasus kriminalisasi wartawan yang memberitakan dugaan korupsi atau penyalahgunaan wewenang masih sering terjadi, menciptakan efek "chill" atau ketakutan yang mendorong self-censorship.

4. Serangan Fisik dan Non-Fisik:
Intimidasi fisik, ancaman, hingga serangan langsung terhadap jurnalis masih menjadi realitas pahit. Kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis, terutama mereka yang meliput isu-isu sensitif seperti lingkungan, korupsi, atau konflik agraria, masih sering dilaporkan. Selain itu, serangan non-fisik seperti peretasan akun, doxing, atau kampanye hitam di media sosial juga menjadi ancaman baru.

5. Disinformasi, Hoaks, dan Polarisasi di Era Digital:
Kemunculan media sosial sebagai platform informasi massal telah mengubah lanskap secara drastis. Meskipun memberikan ruang bagi warga untuk berekspresi, media sosial juga menjadi sarana penyebaran hoaks, disinformasi, dan ujaran kebencian yang masif. Polarisasi politik seringkali diperparah oleh echo chamber di media sosial, di mana masyarakat cenderung hanya terpapar informasi yang menguatkan pandangan mereka sendiri. Pers dihadapkan pada tugas berat untuk memverifikasi informasi, melawan narasi palsu, dan menjaga objektivitas di tengah banjir informasi yang bias dan tidak terverifikasi. Peran buzzer atau influencer politik yang dibayar untuk menyebarkan narasi tertentu juga menjadi ancaman serius terhadap integritas informasi.

6. Profesionalisme dan Etika Jurnalistik:
Di tengah persaingan yang ketat dan tekanan yang tinggi, menjaga profesionalisme dan etika jurnalistik menjadi sangat krusial. Beberapa media atau jurnalis terkadang terjebak dalam praktik yang tidak etis, seperti jurnalisme amplop, sensasionalisme berlebihan, atau bias dalam pemberitaan. Peran Dewan Pers dalam menegakkan Kode Etik Jurnalistik dan menyelesaikan sengketa pers menjadi semakin vital.

Peran Masyarakat dan Perguruan Tinggi

Dalam menjaga kebebasan pers, bukan hanya pers dan pemerintah yang memiliki peran, tetapi juga masyarakat. Masyarakat yang terliterasi media akan mampu membedakan informasi yang akurat dari hoaks, menuntut akuntabilitas dari media, dan mendukung jurnalisme berkualitas. Partisipasi aktif masyarakat dalam memberikan masukan, kritik, dan dukungan finansial (misalnya melalui langganan media) dapat membantu media mempertahankan independensinya.

Perguruan tinggi dan lembaga riset juga memiliki peran penting dalam mengkaji dinamika pers, melahirkan jurnalis-jurnalis berkualitas, dan melakukan advokasi untuk kebebasan pers. Penelitian akademik dapat memberikan landasan teoritis dan data empiris untuk memahami tantangan yang dihadapi pers serta merumuskan solusi yang tepat.

Kesimpulan: Perjuangan yang Berkelanjutan

Mengurai hubungan antara politik dan kebebasan pers di Indonesia adalah melihat sebuah lanskap yang terus bergerak dan beradaptasi. Dari cengkeraman otoriter Orde Baru hingga euforia reformasi, dan kini menghadapi tantangan era digital, kebebasan pers di Indonesia adalah sebuah perjuangan yang berkelanjutan, bukan hadiah yang abadi.

Meskipun kebebasan pers secara legal telah dijamin oleh UU Pers 1999, implementasinya masih menghadapi banyak rintangan, baik dari intervensi politik, tekanan ekonomi, maupun ancaman disinformasi. Politik, dengan segala intrik dan kepentingannya, akan selalu mencoba mempengaruhi media, dan sebaliknya, pers akan selalu berupaya menjadi penyeimbang kekuasaan.

Untuk memastikan pers tetap menjadi pilar demokrasi yang kuat, diperlukan komitmen dari semua pihak: pemerintah harus menghormati independensi pers dan berhenti menggunakan instrumen hukum untuk membungkam kritik; media harus menjaga profesionalisme dan integritasnya; dan masyarakat harus menjadi konsumen informasi yang cerdas dan kritis. Hanya dengan kolaborasi dan kesadaran kolektif inilah, kebebasan pers di Indonesia dapat terus tumbuh dan menjalankan fungsinya sebagai penjaga demokrasi dan suara kebenuran bagi seluruh rakyat.

Exit mobile version