Sejarah parlemen

Jejak Langkah Demokrasi: Sejarah Panjang Parlemen Global

Parlemen, dalam bentuknya yang modern, adalah pilar utama sistem demokrasi perwakilan di sebagian besar negara di dunia. Ia menjadi tempat di mana suara rakyat diartikulasikan, hukum dibuat, dan pemerintah dimintai pertanggungjawaban. Namun, institusi yang tampak kokoh ini bukanlah penemuan baru; sejarahnya terbentang ribuan tahun, ditandai oleh perjuangan panjang antara kekuasaan monarki, kaum bangsawan, dan rakyat biasa. Dari majelis suku kuno hingga gedung-gedung megah tempat debat publik, perjalanan parlemen mencerminkan evolusi peradaban manusia menuju tata kelola yang lebih inklusif dan akuntabel.

I. Akar Kuno dan Bibit Awal Representasi

Konsep majelis atau dewan yang bertugas memberi nasihat kepada penguasa, menyelesaikan perselisihan, atau membuat keputusan kolektif dapat ditemukan jauh sebelum istilah "parlemen" muncul. Di peradaban kuno, bibit-bibit awal representasi dapat dilihat dalam berbagai bentuk:

  • Yunani Kuno: Athena, dengan Ecclesia (majelis rakyat) dan Boule (dewan 500), merupakan contoh awal partisipasi warga dalam pembuatan keputusan. Meskipun partisipasi terbatas pada warga laki-laki bebas, ini menunjukkan adanya mekanisme di mana masyarakat berkumpul untuk berdiskusi dan mengambil keputusan.
  • Romawi Kuno: Senat Romawi, meskipun awalnya merupakan dewan penasihat bagi raja, kemudian menjadi badan yang sangat berpengaruh dalam Republik Romawi. Bersama dengan Comitia (majelis rakyat), mereka memainkan peran penting dalam legislasi dan pemilihan pejabat, meskipun kekuasaan seringkali didominasi oleh kaum patrisian (bangsawan).
  • Masyarakat Germanic dan Norse: Suku-suku Germanic dan Viking memiliki tradisi Thing atau Althing (majelis umum) di mana para kepala suku dan prajurit berkumpul untuk membuat hukum, menyelesaikan perselisihan, dan memilih pemimpin. Ini adalah bentuk awal demokrasi partisipatif yang menekankan konsensus.
  • Anglo-Saxon Inggris: Di Inggris pra-Norman, terdapat Witenagemot, sebuah dewan penasihat yang terdiri dari bangsawan gereja dan awam, yang memberikan nasihat kepada raja mengenai masalah penting negara, termasuk penunjukan raja baru dan pembuatan hukum. Meskipun tidak dipilih, keberadaannya menunjukkan tradisi konsultasi dan konsensus di antara elit.

Meskipun majelis-majelis ini berbeda jauh dari parlemen modern dalam hal struktur, kekuasaan, dan representasi, mereka menanamkan gagasan bahwa kekuasaan tidak seharusnya mutlak berada di tangan satu individu, dan bahwa keputusan-keputusan penting memerlukan diskusi dan persetujuan dari setidaknya sebagian dari masyarakat.

II. Kelahiran Parlemen Inggris: Dari Magna Carta hingga Supremasi Hukum

Sejarah parlemen modern, terutama model Westminster yang banyak ditiru, seringkali ditelusuri ke Inggris. Perkembangannya merupakan proses bertahap yang melibatkan konflik, kompromi, dan inovasi.

  • Magna Carta (1215): Dokumen monumental ini, yang dipaksakan oleh para baron kepada Raja John, sering dianggap sebagai tonggak penting. Meskipun awalnya bertujuan untuk melindungi hak-hak bangsawan, Magna Carta memuat prinsip-prinsip penting seperti pembatasan kekuasaan raja, hak atas pengadilan yang adil, dan yang paling relevan, gagasan "tidak ada pemungutan pajak tanpa persetujuan umum" (no taxation without representation), yang menjadi cikal bakal kontrol parlemen atas keuangan kerajaan.
  • Simon de Montfort (1265): Dalam pemberontakannya melawan Raja Henry III, Simon de Montfort memanggil majelis yang tidak hanya melibatkan para bangsawan dan pendeta tinggi, tetapi juga perwakilan dari knights (ksatria dari setiap shire) dan burgesses (warga terkemuka dari kota-kota besar). Meskipun majelis ini bersifat revolusioner dan berumur pendek, ia menetapkan preseden penting bagi inklusi perwakilan dari "rakyat jelata" (setidaknya sebagian) dalam pengambilan keputusan nasional.
  • Model Parliament Edward I (1295): Raja Edward I, dalam usahanya untuk mendapatkan dukungan finansial dan politik untuk perang, memanggil apa yang kemudian dikenal sebagai "Model Parliament." Majelis ini terdiri dari bangsawan, uskup, abbas, dua ksatria dari setiap shire, dan dua burgesses dari setiap kota. Ini menjadi format yang secara bertahap distandarisasi dan menjadi dasar bagi struktur parlemen Inggris di kemudian hari.
  • Pembentukan Dua Kamar: Pada abad ke-14, parlemen Inggris secara alami terbagi menjadi dua kamar: House of Lords (Dewan Bangsawan), yang terdiri dari bangsawan dan uskup, dan House of Commons (Dewan Rakyat), yang terdiri dari ksatria dan burgesses. Pembagian ini mencerminkan struktur sosial saat itu dan memungkinkan kedua kelompok untuk membahas kepentingan mereka secara terpisah. Seiring waktu, House of Commons, sebagai perwakilan dari populasi yang lebih luas, secara bertahap memperoleh kekuatan yang lebih besar, terutama dalam hal keuangan.

III. Perjuangan untuk Supremasi: Dari Perang Saudara hingga Revolusi Gemilang

Abad ke-17 di Inggris menyaksikan perjuangan sengit antara monarki dan parlemen mengenai siapa yang memiliki kedaulatan tertinggi.

  • Perang Saudara Inggris (1642-1651): Konflik ini memuncak dalam eksekusi Raja Charles I dan periode Republik di bawah Oliver Cromwell. Ini adalah momen krusial yang menunjukkan bahwa raja tidak lagi berada di atas hukum dan bahwa parlemen dapat menantang, bahkan menggulingkan, kekuasaan monarki yang absolut.
  • Restorasi dan Revolusi Gemilang (1688): Setelah periode Republik, monarki dipulihkan, tetapi pelajaran dari Perang Saudara tidak dilupakan. Pada tahun 1688, Raja James II digulingkan dalam Revolusi Gemilang yang relatif damai, dan takhta ditawarkan kepada William dan Mary dengan syarat mereka menerima Bill of Rights (1689). Dokumen ini secara tegas membatasi kekuasaan monarki dan menetapkan prinsip-prinsip kunci seperti kebebasan berbicara di parlemen, larangan pemungutan pajak tanpa persetujuan parlemen, dan kewajiban raja untuk memanggil parlemen secara teratur. Ini secara efektif menetapkan supremasi parlemen dan meletakkan dasar bagi monarki konstitusional.

IV. Penyebaran Ide dan Transformasi Global

Prinsip-prinsip parlementer yang berkembang di Inggris mulai menyebar dan diadaptasi di seluruh dunia, seringkali dipicu oleh revolusi atau gerakan kemerdekaan.

  • Revolusi Amerika (1776): Slogan "tidak ada pemungutan pajak tanpa representasi" adalah inti dari perjuangan kemerdekaan Amerika. Setelah merdeka, Amerika Serikat mendirikan sistem kongres bikameral (DPR dan Senat) yang terinspirasi oleh model Inggris tetapi dengan pemisahan kekuasaan yang lebih tegas antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif, seperti yang diadvokasi oleh pemikir Pencerahan seperti Montesquieu.
  • Revolusi Prancis (1789): Revolusi ini mengubah Estates-General (majelis perwakilan yang jarang dipanggil dan terbagi berdasarkan kelas) menjadi National Assembly (Majelis Nasional) yang mewakili seluruh bangsa. Meskipun Prancis mengalami periode ketidakstabilan politik dan berbagai rezim, revolusi ini menyebarkan gagasan kedaulatan rakyat dan pentingnya majelis perwakilan yang demokratis di benua Eropa.
  • Sistem Westminster: Seiring dengan perluasan Kekaisaran Inggris, model parlementer Westminster diekspor ke berbagai koloni dan wilayah jajahan. Setelah kemerdekaan, banyak negara ini, seperti Kanada, Australia, Selandia Baru, India, dan negara-negara Persemakmuran lainnya, mengadopsi sistem parlemen bikameral atau unikameral yang sangat mirip dengan Inggris, termasuk prinsip pertanggungjawaban pemerintah kepada parlemen.
  • Abad ke-19 dan ke-20: Sepanjang abad ini, semakin banyak negara di Eropa dan di seluruh dunia yang mengadopsi sistem parlementer sebagai bagian dari gerakan menuju pemerintahan yang lebih demokratis dan konstitusional. Parlemen menjadi simbol modernitas dan kemajuan politik.

V. Perluasan Hak Pilih dan Demokratisasi Penuh

Awalnya, partisipasi dalam pemilihan anggota parlemen sangat terbatas, biasanya hanya untuk kaum pria pemilik tanah yang kaya. Sejarah parlemen modern juga merupakan sejarah perjuangan untuk perluasan hak pilih (suffrage) dan demokratisasi penuh.

  • Reformasi Abad ke-19: Sepanjang abad ke-19, tekanan publik dan gerakan reformasi di Inggris dan negara-negara lain mendorong perluasan hak pilih kepada lebih banyak pria dari kelas menengah dan pekerja. Reform Acts di Inggris (1832, 1867, 1884) secara bertahap memperlebar basis pemilih.
  • Gerakan Suara Perempuan: Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, gerakan suffragette memperjuangkan hak perempuan untuk memilih dan memegang jabatan politik. Selandia Baru (1893) adalah negara pertama yang memberikan hak pilih kepada semua perempuan, diikuti oleh negara-negara Nordik, Inggris (1918, penuh 1928), Amerika Serikat (1920), dan banyak negara lainnya setelah Perang Dunia I dan II.
  • Hak Pilih Universal: Pada pertengahan abad ke-20, sebagian besar negara demokrasi telah mengadopsi hak pilih universal dewasa, di mana setiap warga negara dewasa, tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, atau status sosial ekonomi, memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Ini mengubah parlemen dari badan elit menjadi representasi yang lebih akurat dari seluruh populasi.

VI. Tantangan dan Relevansi di Era Modern

Di era modern, parlemen terus beradaptasi dengan tantangan baru, termasuk globalisasi, revolusi digital, meningkatnya populisme, dan krisis kepercayaan publik.

  • Globalisasi: Isu-isu lintas batas seperti perubahan iklim, perdagangan internasional, dan migrasi seringkali memerlukan kerja sama global, yang dapat membatasi kemampuan parlemen nasional untuk bertindak secara independen.
  • Revolusi Digital: Teknologi informasi telah mengubah cara parlemen beroperasi dan berinteraksi dengan publik, namun juga memunculkan tantangan seperti disinformasi dan polarisasi.
  • Populisme: Kebangkitan gerakan populisme seringkali menantang legitimasi institusi mapan seperti parlemen, mengklaim bahwa mereka tidak lagi mewakili "rakyat sejati."
  • Akuntabilitas dan Transparansi: Terdapat tekanan yang terus-menerus bagi parlemen untuk menjadi lebih transparan dan akuntabel kepada warga negara, memerangi korupsi, dan memastikan bahwa keputusan dibuat demi kepentingan publik.

Meskipun menghadapi tantangan ini, parlemen tetap menjadi jantung demokrasi perwakilan. Ia adalah forum untuk debat publik, tempat hukum dibuat, tempat anggaran disetujui, dan tempat pemerintah dimintai pertanggungjawaban. Parlemen adalah penjaga hak-hak warga negara, memastikan bahwa kekuasaan tidak disalahgunakan dan bahwa suara rakyat didengar.

Kesimpulan

Sejarah parlemen adalah kisah panjang perjuangan dan evolusi, dari majelis-majelis kuno yang terbatas hingga institusi kompleks dan representatif di zaman modern. Ini adalah narasi tentang bagaimana masyarakat secara bertahap menuntut dan memperoleh kekuasaan untuk mengatur diri sendiri, membatasi absolutisme, dan menegakkan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat. Parlemen, dengan segala kekurangannya, tetap merupakan salah satu penemuan politik terbesar dalam sejarah manusia, yang memungkinkan jutaan orang untuk memiliki suara dalam pemerintahan mereka. Sebagai garda depan demokrasi, perjalanannya belum berakhir, dan relevansinya akan terus diuji dan dibentuk oleh tuntutan zaman.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *