Perubahan Iklim sebagai Agenda Politik: Menjembatani Jurang Antara Retorika dan Aksi Nyata
Perubahan iklim bukan lagi sekadar prediksi ilmiah atau isu lingkungan pinggiran; ia telah menjelma menjadi krisis eksistensial yang mengancam setiap aspek kehidupan di planet ini. Dari pencairan gletser yang mempercepat kenaikan permukaan laut, gelombang panas ekstrem yang memecahkan rekor, hingga pola cuaca yang semakin tidak terduga, bukti-bukti dampak perubahan iklim kian nyata dan mendesak. Dalam menghadapi ancaman sebesar ini, tidak mengherankan jika perubahan iklim telah naik ke puncak agenda politik global, menjadi topik sentral dalam pertemuan internasional, debat parlemen, hingga kampanye pemilihan umum. Namun, di balik seruan-seruan lantang dan janji-janji ambisius, seringkali terdapat jurang yang menganga antara retorika politik yang berapi-api dengan aksi nyata yang transformatif. Artikel ini akan mengupas bagaimana perubahan iklim bertransformasi menjadi agenda politik, menganalisis kesenjangan antara janji dan implementasi, serta mengeksplorasi jalan ke depan untuk menjembatani jurang tersebut.
Evolusi Isu Iklim dalam Arena Politik Global
Perjalanan perubahan iklim dari ranah sains murni menjadi isu politik yang mendesak dimulai pada akhir abad ke-20. Laporan-laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) secara bertahap mengumpulkan konsensus ilmiah yang tak terbantahkan mengenai pemanasan global akibat aktivitas manusia. Kesadaran ini memicu upaya diplomatik awal, puncaknya adalah Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992 yang melahirkan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Konvensi ini menjadi landasan bagi negosiasi iklim global, dengan tujuan utama menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim.
Protokol Kyoto pada tahun 1997 menandai langkah konkret pertama dengan menetapkan target pengurangan emisi yang mengikat secara hukum bagi negara-negara maju. Meskipun ambisius, Protokol Kyoto menghadapi tantangan besar, termasuk penolakan dari beberapa negara besar seperti Amerika Serikat, dan kritik bahwa ia tidak cukup komprehensif. Setelah beberapa dekade negosiasi yang berliku, lahirlah Perjanjian Paris pada tahun 2015, yang dianggap sebagai terobosan besar. Perjanjian Paris memperkenalkan pendekatan "bottom-up," di mana setiap negara secara sukarela menetapkan target kontribusi yang ditentukan secara nasional (Nationally Determined Contributions/NDCs) untuk mengurangi emisi dan beradaptasi terhadap dampak iklim. Ini menunjukkan pergeseran paradigma, dari pendekatan "top-down" yang kaku menjadi kerangka kerja yang lebih fleksibel namun mengharapkan komitmen kolektif dari hampir setiap negara di dunia.
Sejak Perjanjian Paris, perubahan iklim semakin terintegrasi dalam wacana politik, bukan hanya sebagai isu lingkungan, melainkan juga isu ekonomi, sosial, keamanan, dan keadilan. KTT Iklim tahunan (COP) menjadi panggung utama bagi para pemimpin dunia untuk menunjukkan komitmen mereka, mengumumkan inisiatif baru, dan bernegosiasi tentang langkah-langkah selanjutnya. Di tingkat nasional, banyak negara mulai merumuskan undang-undang iklim, kebijakan energi terbarukan, dan rencana adaptasi. Aktivisme iklim, yang dipelopori oleh generasi muda seperti Greta Thunberg, juga telah memainkan peran krusial dalam menekan pemerintah untuk bertindak lebih tegas, membawa isu ini ke garis depan kesadaran publik.
Retorika Ambisius: Janji di Panggung Dunia
Ketika perubahan iklim menjadi agenda politik, ia seringkali diiringi oleh retorika yang kuat dan penuh janji. Para pemimpin dunia, dalam pidato-pidato mereka di forum internasional atau di hadapan konstituen, kerap menggunakan bahasa yang menekankan urgensi, komitmen, dan ambisi. Janji-janji untuk mencapai "net-zero emissions" pada pertengahan abad, investasi besar dalam energi terbarukan, transisi menuju "ekonomi hijau," dan perlindungan keanekaragaman hayati seringkali menjadi bagian dari narasi politik.
Misalnya, banyak negara maju telah menetapkan target net-zero emissions pada tahun 2050 atau 2060, dan negara-negara berkembang juga mulai menyusul dengan target yang ambisius. Ini adalah janji-janji yang mengesankan di atas kertas, menunjukkan kesadaran akan skala masalah dan keinginan untuk bertindak. Retorika ini juga mencakup komitmen untuk menyediakan "pembiayaan iklim" bagi negara-negara berkembang, membantu mereka dalam mitigasi dan adaptasi. Ada penekanan pada "keadilan iklim," mengakui bahwa negara-negara maju memiliki tanggung jawab historis yang lebih besar dalam emisi gas rumah kaca dan harus mendukung negara-negara yang lebih rentan.
Selain itu, istilah-istilah seperti "sustainable development goals," "green recovery," dan "climate leadership" menjadi kosakata umum dalam politik global. Retorika ini tidak hanya berfungsi untuk membangun citra positif di mata publik dan komunitas internasional, tetapi juga untuk menciptakan momentum dan harapan bahwa solusi global sedang diupayakan. Namun, pertanyaan krusial yang selalu muncul adalah: seberapa jauh retorika ini diterjemahkan menjadi tindakan konkret yang signifikan?
Dinding Tantangan: Mengapa Aksi Tertinggal?
Meskipun retorika politik tentang perubahan iklim seringkali terdengar ambisius, realitas aksi di lapangan seringkali tertinggal jauh. Ada berbagai tantangan kompleks yang menghalangi perubahan dari kata-kata menjadi tindakan transformatif:
-
Kepentingan Ekonomi dan Politik Jangka Pendek: Kebijakan iklim seringkali memerlukan investasi besar di awal dan dapat menimbulkan gangguan pada industri yang sudah mapan (misalnya, sektor bahan bakar fosil). Para politisi, yang terikat pada siklus pemilihan umum jangka pendek, mungkin enggan mengambil keputusan yang tidak populer atau berisiko secara ekonomi jika dampaknya tidak langsung terasa. Lobi dari industri bahan bakar fosil dan sektor-sektor terkait juga sangat kuat, seringkali menekan pemerintah untuk mempertahankan status quo.
-
Ketergantungan pada Bahan Bakar Fosil: Ekonomi global masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil untuk energi, transportasi, dan industri. Transisi energi yang cepat memerlukan perubahan infrastruktur besar-besaran, yang sangat mahal dan kompleks. Negara-negara yang kaya akan sumber daya fosil menghadapi dilema ekonomi yang mendalam jika harus meninggalkan aset-aset ini.
-
Polarisasi Politik dan Ideologi: Di beberapa negara, perubahan iklim telah menjadi isu yang sangat terpolarisasi secara politik, seringkali dikaitkan dengan ideologi tertentu. Ini menghambat konsensus bipartisan yang diperlukan untuk kebijakan iklim jangka panjang yang stabil. Ada juga narasi penolakan iklim atau minimisasi dampaknya yang masih beredar, meskipun bukti ilmiahnya kuat.
-
Kesenjangan Keadilan dan Tanggung Jawab: Perdebatan tentang siapa yang harus membayar biaya transisi iklim dan siapa yang memiliki tanggung jawab historis terbesar seringkali menjadi batu sandungan. Negara-negara berkembang berargumen bahwa negara-negara maju, yang merupakan penyumbang emisi terbesar di masa lalu, harus menyediakan pembiayaan dan transfer teknologi yang memadai. Kesenjangan ini seringkali menghambat kemajuan dalam negosiasi iklim internasional.
-
Kurangnya Kapasitas dan Implementasi: Bahkan ketika kebijakan iklim dirumuskan, kapasitas untuk implementasinya di tingkat lokal dan nasional seringkali terbatas, terutama di negara-negara berkembang. Ini mencakup kurangnya sumber daya finansial, keahlian teknis, dan kerangka peraturan yang kuat.
-
Tantangan Geopolitik dan Kedaulatan: Keputusan tentang kebijakan iklim seringkali bersinggungan dengan isu kedaulatan nasional dan kepentingan geopolitik. Negara-negara mungkin enggan untuk berkomitmen pada target yang dianggap mengancam pertumbuhan ekonomi atau keamanan energi mereka.
Realitas Aksi: Di Balik Tirai Janji
Kesenjangan antara retorika dan aksi nyata termanifestasi dalam berbagai bentuk:
- Target NDCs yang Tidak Memadai: Meskipun Perjanjian Paris mengikat negara-negara untuk menetapkan NDCs, banyak analisis menunjukkan bahwa jika semua NDCs saat ini dilaksanakan sepenuhnya, dunia masih akan melampaui batas pemanasan 1.5°C atau bahkan 2°C yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut. Ini berarti target-target kolektif masih belum cukup ambisius.
- Investasi Bahan Bakar Fosil yang Berlanjut: Meskipun banyak janji untuk beralih ke energi terbarukan, investasi dalam proyek-proyek bahan bakar fosil baru—termasuk pertambangan batu bara, pengeboran minyak dan gas—terus berlanjut di banyak belahan dunia, seringkali didukung oleh subsidi pemerintah.
- "Greenwashing": Banyak perusahaan dan bahkan pemerintah terlibat dalam praktik "greenwashing," yaitu mempromosikan citra ramah lingkungan tanpa melakukan perubahan substansial pada praktik mereka. Ini bisa berupa klaim produk yang menyesatkan, atau janji-janji ambisius yang tidak didukung oleh investasi atau kebijakan yang nyata.
- Pembiayaan Iklim yang Kurang: Janji negara-negara maju untuk menyediakan $100 miliar per tahun dalam pembiayaan iklim untuk negara-negara berkembang seringkali tidak terpenuhi atau sulit diukur. Kesenjangan ini memperlambat kemampuan negara-negara rentan untuk mengurangi emisi dan beradaptasi.
- Penegakan Hukum yang Lemah: Meskipun banyak negara memiliki undang-undang atau peraturan terkait iklim, penegakan hukum seringkali lemah, memungkinkan pelanggaran atau penundaan implementasi tanpa konsekuensi yang signifikan.
- Fokus pada Mitigasi daripada Adaptasi: Meskipun mitigasi (pengurangan emisi) sangat penting, adaptasi terhadap dampak perubahan iklim yang sudah tidak terhindarkan seringkali kurang mendapat perhatian dan pendanaan, terutama di negara-negara yang paling rentan.
Peran Aktor Non-Pemerintah dan Masyarakat Sipil
Di tengah kesenjangan antara retorika dan aksi, peran aktor non-pemerintah, ilmuwan, sektor swasta yang progresif, dan masyarakat sipil menjadi semakin krusial. Kelompok-kelompok ini seringkali menjadi "penjaga gerbang" yang memantau janji-janji politik, mengungkap praktik greenwashing, dan menekan pemerintah untuk akuntabel. Ilmuwan terus memberikan data dan proyeksi yang diperbarui, menjadi dasar ilmiah bagi kebijakan yang lebih ambisius. Organisasi masyarakat sipil dan gerakan pemuda melancarkan kampanye, demonstrasi, dan litigasi iklim untuk menuntut tindakan yang lebih cepat dan efektif.
Sektor swasta juga memiliki peran ganda. Meskipun ada perusahaan yang masih resisten terhadap perubahan, semakin banyak korporasi yang menyadari risiko iklim terhadap bisnis mereka dan peluang dalam ekonomi hijau. Mereka berinvestasi dalam energi terbarukan, teknologi rendah karbon, dan praktik bisnis yang berkelanjutan, meskipun motivasi mereka bisa beragam, dari tanggung jawab sosial hingga keuntungan finansial.
Menerjemahkan Kata Menjadi Karya: Jalan ke Depan
Menjembatani jurang antara retorika dan aksi adalah tantangan terbesar dalam menghadapi perubahan iklim. Beberapa langkah kunci diperlukan untuk mendorong aksi nyata:
- Meningkatkan Ambisi dan Akuntabilitas: Negara-negara harus memperbarui NDCs mereka dengan target yang lebih ambisius dan menciptakan mekanisme yang kuat untuk memantau serta melaporkan kemajuan secara transparan. Sanksi atau konsekuensi bagi negara yang gagal memenuhi komitmennya perlu dipertimbangkan, meskipun ini secara politis sulit.
- Integrasi Kebijakan Iklim: Kebijakan iklim tidak boleh menjadi domain terpisah, melainkan harus diintegrasikan ke dalam semua sektor pemerintahan—ekonomi, pertanian, transportasi, perencanaan kota, dan lain-lain. Pendekatan "whole-of-government" ini akan memastikan bahwa semua keputusan memperhitungkan dampaknya terhadap iklim.
- Memobilisasi Pembiayaan Iklim: Negara-negara maju harus memenuhi janji pembiayaan iklim mereka dan bahkan meningkatkannya. Mekanisme inovatif untuk menarik investasi swasta dalam solusi iklim, baik mitigasi maupun adaptasi, juga perlu dikembangkan.
- Mengakhiri Subsidi Bahan Bakar Fosil: Mengalihkan subsidi yang saat ini diberikan kepada industri bahan bakar fosil ke energi terbarukan dan teknologi hijau akan menjadi langkah transformatif. Ini akan menyeimbangkan "level playing field" dan mempercepat transisi energi.
- Investasi dalam Inovasi dan Teknologi: Dukungan untuk penelitian dan pengembangan teknologi rendah karbon, serta penyebaran teknologi ini secara global, sangat penting. Ini termasuk teknologi penangkapan karbon, penyimpanan energi, dan solusi adaptasi yang inovatif.
- Pendidikan dan Keterlibatan Publik: Meningkatkan pemahaman publik tentang perubahan iklim dan konsekuensinya, serta mendorong perubahan perilaku individu dan kolektif, adalah fondasi untuk dukungan politik yang berkelanjutan.
- Transisi yang Adil: Kebijakan iklim harus dirancang untuk memastikan "transisi yang adil," melindungi pekerja di industri yang terpengaruh oleh dekarbonisasi dan memastikan bahwa manfaat dari ekonomi hijau tersebar secara merata. Ini akan mengurangi resistensi sosial terhadap perubahan.
- Memperkuat Tata Kelola Global: Meskipun Perjanjian Paris adalah kerangka kerja yang kuat, lembaga-lembaga internasional perlu diperkuat untuk memfasilitasi kerja sama, memecahkan kebuntuan, dan menyediakan dukungan teknis.
Kesimpulan
Perubahan iklim sebagai agenda politik adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia telah membawa isu ini ke perhatian global dan mendorong janji-janji ambisius yang belum pernah ada sebelumnya. Di sisi lain, janji-janji tersebut seringkali tidak sejalan dengan aksi nyata, menciptakan rasa frustrasi dan keputusasaan. Jurang antara retorika dan aksi adalah cerminan dari kompleksitas tantangan yang dihadapi—melibatkan pertimbangan ekonomi, politik, sosial, dan etika yang mendalam.
Namun, mengabaikan jurang ini bukanlah pilihan. Masa depan umat manusia dan keanekaragaman hayati planet ini bergantung pada kemampuan kita untuk secara kolektif menjembatani kesenjangan tersebut. Ini membutuhkan lebih dari sekadar kata-kata; ia menuntut kepemimpinan yang berani, kebijakan yang transformatif, investasi yang masif, dan partisipasi aktif dari setiap sektor masyarakat. Hanya dengan mengubah janji-janji di panggung dunia menjadi tindakan nyata di lapangan, kita dapat berharap untuk membangun masa depan yang lebih berkelanjutan dan berketahanan iklim. Tantangan ini besar, tetapi konsekuensi dari kelambanan akan jauh lebih besar.












