Ketika Politik Dijadikan Komoditas Hiburan oleh Media Arus Utama
Dalam lanskap media kontemporer yang terus berevolusi, garis pemisah antara informasi, pendidikan, dan hiburan menjadi semakin kabur. Fenomena ini paling nyata terlihat dalam cara media arus utama menyajikan politik. Dahulu kala, berita politik adalah domain serius yang didominasi oleh analisis mendalam, laporan investigatif, dan debat berbasis kebijakan. Kini, seringkali politik disajikan sebagai sebuah tontonan, drama panggung yang dipenuhi karakter, konflik, dan plot twist, menyerupai sebuah serial televisi atau reality show. Ketika politik bertransformasi menjadi komoditas hiburan, implikasinya terhadap demokrasi, partisipasi publik, dan kualitas diskursus menjadi sangat signifikan dan mengkhawatirkan.
Dari Mimbar ke Panggung: Pergeseran Paradigma Media
Pergeseran ini bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari konvergensi berbagai faktor. Sejak era televisi menjadi dominan, media telah menyadari bahwa dramatisasi dan personalisasi mampu menarik perhatian audiens secara lebih efektif. Konflik antarindividu lebih mudah dicerna dan lebih menarik daripada perdebatan rumit mengenai anggaran atau undang-undang. Dengan hadirnya internet dan media sosial, siklus berita menjadi 24/7, dan persaingan untuk mendapatkan perhatian (klik, tayangan, engagement) mencapai puncaknya. Media arus utama, yang berjuang di tengah model bisnis yang berubah dan tekanan komersial yang intens, seringkali tergoda untuk mengadopsi strategi yang terbukti berhasil dalam industri hiburan.
Alih-alih menyajikan informasi yang objektif dan mendalam, banyak outlet media memilih untuk menonjolkan aspek-aspek yang sensasional: skandal, perseteruan pribadi, retorika yang memecah belah, dan "momen-momen lucu" atau "kontroversial" dari para politisi. Politik tidak lagi hanya tentang bagaimana negara dijalankan, tetapi juga tentang siapa yang "menang" atau "kalah" dalam adu argumen, siapa yang lebih karismatik, atau siapa yang melakukan kesalahan yang paling memalukan. Ini adalah politik yang dienkapsulasi dalam format "infotainment," di mana nilai berita diukur bukan dari signifikansi substansialnya, melainkan dari potensi hiburannya.
Manifestasi Komodifikasi Politik sebagai Hiburan
Komodifikasi politik sebagai hiburan termanifestasi dalam berbagai bentuk yang dapat kita saksikan sehari-hari:
-
Personifikasi dan Dramatisasi Berlebihan: Fokus utama beralih dari isu dan kebijakan menjadi karakter politisi itu sendiri. Siapa mereka, bagaimana gaya hidup mereka, apa skandal pribadi mereka, dan bagaimana mereka berinteraksi dengan lawan politik. Ini menciptakan narasi yang lebih mirip drama personal daripada pertarungan ideologi atau kebijakan. Politisi digambarkan sebagai pahlawan, penjahat, atau badut, tergantung pada sudut pandang media dan narasi yang ingin dibangun.
-
Jurnalisme "Horse Race": Alih-alih menganalisis dampak kebijakan, media lebih sering melaporkan politik sebagai perlombaan. Siapa yang memimpin dalam survei? Siapa yang sedang naik daun? Apa strategi kampanye terbaru? Fokus pada dinamika kompetisi politik ini mengesampingkan diskusi tentang platform, janji, dan rekam jejak yang substansial. Pemilu menjadi ajang taruhan, bukan pilihan krusial bagi masa depan bangsa.
-
Sensasionalisme dan Polarisasi: Media cenderung menyoroti konflik dan pernyataan yang memecah belah karena menghasilkan lebih banyak perhatian. Judul-judul clickbait, kutipan yang dilebih-lebihkan, dan penggunaan retorika provokatif menjadi alat umum. Hal ini memperdalam jurang polarisasi dalam masyarakat, mengubah perbedaan pendapat menjadi permusuhan yang tak terdamaikan, di mana lawan politik dipandang sebagai musuh yang harus dihancurkan, bukan mitra dalam dialog.
-
Politisi sebagai Selebriti: Para politisi didorong untuk mengembangkan citra publik yang menarik dan "menghibur." Mereka tampil di acara bincang-bincang non-politik, menggunakan media sosial untuk membangun merek personal, dan terlibat dalam kontes popularitas. Keahlian mereka dalam berpolitik seringkali dinilai dari kemampuan mereka untuk "tampil" di depan kamera atau menarik perhatian, bukan dari keefektifan mereka dalam memimpin atau merumuskan kebijakan.
-
Acara Debat sebagai Pertunjukan: Debat politik, yang seharusnya menjadi forum untuk gagasan dan visi, seringkali direduksi menjadi pertunjukan retorika dan "momen-momen" yang bisa menjadi viral. Moderator mungkin lebih fokus pada menciptakan ketegangan atau menangkap kesalahan fatal daripada memastikan diskusi yang mendalam dan informatif.
Dampak dan Konsekuensi Serius
Ketika politik diperlakukan sebagai hiburan, konsekuensinya jauh melampaui sekadar perubahan format media. Ini memiliki dampak mendalam pada fondasi demokrasi:
-
Erosi Diskursus Publik yang Substantif: Isu-isu kompleks yang membutuhkan pemahaman nuansa dan solusi multidimensional disederhanakan menjadi slogan atau narasi yang mudah dicerna. Masyarakat kehilangan kesempatan untuk terlibat dalam diskusi yang bermakna tentang tantangan nyata yang dihadapi negara. Kebijakan publik yang penting dibahas dalam kerangka drama atau kontroversi, bukan analisis faktual.
-
Meningkatnya Sinisme dan Apatisme Publik: Konsumsi politik yang berlebihan sebagai hiburan dapat menyebabkan masyarakat menjadi sinis terhadap seluruh sistem politik. Jika politik hanya sandiwara, mengapa harus peduli? Ini dapat memicu apatisme dan disengagement, di mana warga merasa bahwa suara mereka tidak penting atau bahwa semua politisi sama saja, hanyalah aktor dalam pertunjukan yang tidak ada artinya.
-
Polarisasi dan Fragmentasi Sosial: Media yang berfokus pada drama dan konflik seringkali memperkuat identitas kelompok dan memecah belah masyarakat. Perdebatan politik berubah menjadi pertarungan moral antara "kami" dan "mereka," di mana kompromi atau konsensus menjadi mustahil. Ini mengikis kemampuan masyarakat untuk bekerja sama demi kepentingan bersama.
-
Pilihan Pemilih yang Superficial: Ketika politik disajikan sebagai tontonan, pemilih mungkin membuat keputusan berdasarkan citra, karisma, atau kemampuan politisi untuk menghibur, daripada berdasarkan rekam jejak, platform kebijakan, atau kapasitas kepemimpinan yang sesungguhnya. Ini membuka pintu bagi politisi populistik yang mahir dalam manipulasi emosi dan pencitraan, tetapi mungkin kurang substansi.
-
Ancaman terhadap Akuntabilitas dan Transparansi: Fokus pada drama mengalihkan perhatian dari pengawasan yang sebenarnya terhadap kekuasaan. Media yang sibuk meliput skandal pribadi atau pertikaian retoris mungkin melewatkan isu-isu penting tentang korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, atau kegagalan kebijakan yang memerlukan investigasi mendalam.
Peran Media dan Tanggung Jawab Publik
Mengatasi fenomena komodifikasi politik sebagai hiburan memerlukan upaya kolektif dari media dan publik.
Bagi media, ini adalah panggilan untuk kembali pada etika jurnalistik yang mendalam. Prioritas harus dikembalikan pada penyediaan informasi yang akurat, berimbang, dan relevan, yang memungkinkan warga untuk membuat keputusan yang terinformasi. Ini berarti berinvestasi dalam jurnalisme investigatif yang menyoroti isu-isu substantif, memberikan konteks yang memadai, dan memfasilitasi dialog konstruktif, alih-alih hanya mengejar rating atau klik. Media harus menjadi pilar keempat demokrasi, bukan sekadar penyedia hiburan.
Bagi publik, ini adalah tantangan untuk menjadi konsumen media yang lebih kritis. Kita harus secara aktif mencari sumber informasi yang beragam, menanyakan motif di balik narasi media, dan menuntut kedalaman serta substansi. Literasi media menjadi keterampilan penting di era digital, memungkinkan kita untuk membedakan antara informasi yang valid dan manipulasi yang disamarkan sebagai berita. Kita harus menolak godaan untuk hanya mengonsumsi politik sebagai hiburan, dan sebaliknya, terlibat secara aktif dan kritis dalam proses demokrasi.
Kesimpulan
Ketika politik dijadikan komoditas hiburan oleh media arus utama, kita menghadapi risiko besar terhadap kualitas demokrasi kita. Proses politik yang seharusnya menjadi mekanisme serius untuk menyelesaikan masalah kolektif dan membentuk masa depan bersama, direduksi menjadi sebuah pertunjukan yang dangkal dan memecah belah. Untuk melindungi integritas demokrasi dan memastikan partisipasi publik yang bermakna, kita harus menuntut lebih dari media kita dan lebih dari diri kita sendiri. Kita harus mengembalikan politik ke tempatnya yang semestinya: sebuah arena serius untuk diskusi ide, perdebatan kebijakan, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab, bukan sekadar panggung untuk drama dan tontonan. Masa depan politik yang substantif dan demokrasi yang sehat bergantung pada kemampuan kita untuk membuat perbedaan ini.












